Begitulah keadaan mereka dibesarkan. Apabila tiba saat yang sesuai untuk dinikah oleh walinya maka mereka dinikahkan pada pasangan yang sesuai. Pilihan keluarga, dan tanpa ada bantahan. Tanpa ada cinta atau ‘datang’ sebelumnya.
Kebiasaannya mereka menikah di usia yang masih muda, sekitar belasan tahun. Begitulah keadaan mereka, cukup terpelihara dan terjaga.
Wanita Tarim juga tidak pernah menyusahkan suami mereka. Begitu juga dengan para suaminya, tidak menyusahkan isteri mereka. Apabila barang kebutuhan rumah seperti beras susu dan sebagainya kehabisan, mereka tidak langsung memberitahu suami karena khawatir suami mereka tidak mempunyai uang atau sedang sibuk.
Maka yang mereka lakukan adalah meletakkan bungkusan-bungkusan kosong pada tempat yang mudah dilihat suaminya. Begitu juga para suami, seluruh hajat dan keperluan dapur seperti sayur dan sebagainya suami yang membelikan.
Keadaan ini tidak pula menghalangi para isteri untuk keluar membeli ke pasar seperti membeli baju atau barang keperluan wanita. Namun urusan dapur seperti membeli sayur, beras dan lain-lainnya itu merupakan tugas suami atau pembantu.
Sang isteri selalu menghias dan menjadikan kamar tidur harum mewangi. Apabila suaminya pulang, pastilah kamar sudah dikemas rapi, indah dan harum. Pakaian suami sudah pasti wangi, kamar mandi juga wangi dan semuanya kemas serapi mungkin.
Karena wangi-wangian itu mampu membangkitkan suasana yang tenang dan romantik serta menambahkan kasih sayang. Si isteri juga tidak pernah meninggikan suara kepada suami mereka. Mereka tidak pernah marah dan tidak pernah cemburu.
BACA JUGA:Kebakaran Masih Melanda Wilayah Kota Bengkulu, Senin Siang Ruko di Pasar Melintang Terbakar
Bila mereka merasa kesal, mereka akan menangis dan mengadu pada suaminya dengan nada yang lirih. Itulah marah mereka. Keadaannya sama juga dengan para suami. Mereka tidak pernah marah kepada isteri, apalagi mencaci dan menghina.
Jika suami merasa kesal atas sesuatu perkara, mereka akan menulis sepucuk surat kepada isteri dan kemudian mereka akan pergi atau tidur. Kemudian nanti isteri akan menjawab pula surat daripada suami tadi, seterusnya suami pula akan menjawab surat daripada isteri dan sehingga akhirnya mereka berdua akan tertawa bersama.
Indahnya marah yang seperti ini, marah yang mampu menjadi hiburan, marah yang diakhiri dengan gelak tawa tanpa seorang pun daripada mereka memendam rasa.
Jika melihat kehidupan masyarakat di kota seribu wali ini, akan didapati banyak keunikan dan seni budi pekerti junjungan mulia Nabi Muhammad SAW yang susah kita temukan di masa kini.
Di Tarim, rumah tangga Nabawi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah keberkahan yang ada di Kota Tarim. Di Tarim sangat sulit ditemui kaum perempuan memperlihatkan wajahnya di khalayak ramai.
Sekalipun mereka bekerja di ladang atau mengembala kambing kawasan kering bukit, mereka tetap jauh dari pandangan kaum lelaki.
Perempuan Tarim tetap memakai niqab/berpurdah hitam. Mereka dapat bertahan di tengah terik walaupun matahari di negeri Tarim (Hadramaut) terkenal dengan panasnya.
Begitulah tangguhnya wanita-wanita Tarim. Perempuan di Tarim hanya keluar apabila ada keperluan penting saja. Apabila ke pasar atau ke kedai ada mahram yang menemaninya atau mereka keluar secara bergerombolan. Maka terpeliharalah mereka dari segala macam fitnah. Itu sebabnya, perempuan Tarim dijuluki bidadari bumi.