_Catatan Zacky Antony_
PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2023 di Medan, Sumatera Utara sudah berakhir. Puncak HPN, seperti biasa, dihadiri Presiden Joko Widodo, pada Kamis 9 Februari 2023. Di hari terakhir, panitia menyiapkan tour ke Danau Toba. Tapi hanya sebagian yang ikut, sebagian pulang keesokan harinya karena berbagai kesibukan.
BACA JUGA:Dana Hibah 12 Parpol di Bengkulu Utara Naik, Segini Besarannya
Ada puluhan forum literasi, seminar, dialog hingga konvensi tersaji selama HPN. Baik yang diselenggarakan oleh panitia HPN, maupun yang diselenggarakan organisasi/lembaga lain tapi mengambil momen HPN. Seperti kongres SPS, acara SMSI serta Dewan Pers yang mensosialisasikan peraturan-peraturan terbaru Dewan Pers tahun 2023. Termasuk pameran pers.
BACA JUGA:15 Camat Dapat Mobil Dinas, Bupati: Jangan Sampai Nunggak
Materi pada forum-forum tersebut rasanya sudah diberitakan dan dikupas habis oleh banyak media. Begitu pula isi pidato Presiden Jokowi soal “Pers tidak sedang baik-baik saja” bisa diputar ulang live streamingnya di youtube. Live streaming menjelma menjadi budaya digital.
Dari beberapa forum yang saya sempat hadir HPN di Medan, saya mencatat persoalan etika dan moral menjadi penting dan relevan. Soal transformasi bisnis media agar survive it’s oke. Perlunya instrumen hukum untuk perlindungan media-media konvensional it’s oke. Seperti soal keringanan pajak kertas dll. Walaupun soal-soal ini sebetulnya juga dibicarakan pada HPN di Kendari 2022. Tapi persoalan etika dan moral, menurut saya, adalah jantungnya jurnalisme.
BACA JUGA:Tekan Stunting, Dinkes Seluma Mulai Gencarkan Program Posyandu Prima
Digitalisasi dunia media menawarkan kecepatan dan kemudahan akses. Tapi acap kali mengabaikan etika dan moral dalam proses produksi. Prosedur pokok jurnalistik seperti konfirmasi, akurat, berimbang serta tidak beritikad buruk, cenderung dinomorduakan. Yang berbahaya, prosedur itu bahkan mulai ditinggalkan.
BACA JUGA:Gara-gara Harga Material Murah, Bapak Ini Jadi Korban Penipuan
Wartawan agaknya sudah mulai lupa bahwa prosedur pokok jurnalistik itulah yang membuat publik percaya kepada pers. Kalau prosedur itu ditaati, maka wibawa pers akan terjaga. Namun ketika prosedur pokok itu dilanggar, maka wajah pers akan tercoreng. Sebab, tidak ada beda karya pers dengan produksi informasi di media sosial.
Saya jadi teringat pernyataan Mark Zuckerberg dalam sebuah forum mahasiswa di Roma. Mark mengatakan dia tidak mempekerjakan satupun wartawan di dalam perusahaannya. Tapi dia bisa memproduksi informasi yang itu dulu menjadi ranahnya wartawan. Itu dulu. Sekali lagi itu dulu. Tapi sekarang, siapa saja bisa memproduksi informasi.
BACA JUGA:Tahun Ini Pemprov Anggarkan Rp 24 M Dana Hibah Keagamaan
Facebook bukan perusahaan pers. Sebagaimana juga google bukan perusahaan pers. Tapi google menyajikan berita. Juga “menjual” foto dan video. Malah ada kecenderungan, pengguna atau pengakses informasi masuk dulu ke google, setelah itu baru masuk ke portal berita yang sebenarnya. Sampai saat ini, bagi hasil google dan portal perusahaan pers ini juga tidak begitu jelas.
Facebook sebagaimana Instagram, Youtube, Whatssapp, Tiktok dll bukan perusahaan pers. Tapi mereka melaksanakan fungsi-fungsi pers yang ada empat menurut UU No 40 tahun 1999 yaitu fungsi informasi, edukasi, entertainmen (hiburan) dan control social (pengawasan) . Dulu pejabat paling takut kasusnya diberitakan di koran. Sekarang para pejabat lebih takut kasus atau aibnya viral di media sosial seperti FB, IG, Tiktok, WA dll.