Tradisi yang juga dikenal sebagai tradisi pukul sapu ini, dilakukan para pria yang menjadi perwakilan dari masing-masing desa.
Menggunakan lidi dari pohon enau, para pria akan bertarung dengan menggunakan lidi mereka untuk menyabet badan lawan.
BACA JUGA:Gampang Banget Cara Pinjam Uang Tanpa Agunan Apapun di Pegadaian, Cair Rp10 Juta Cicilan Ringan
Perang sabet dengan lidi enau yang berlangsung selama 30 menit ini, biasanya akan melukai tubuh peserta dengan guratan di kulit.
6. Tradisi Tumbilotohe
Tradisi Tumbilotohe dalam bahasa Indonesia disebut sebagai malam pasang lampu. Berasal dari bahasa Gorontalo, 'Tumbilo' yang berarti memasang dan 'Tohe' yang berarti lampu.
Lampu-lampu yang digunakan adalah lampu tradisional dengan minyak tanah yang disebut sebagai Tohetutu.
Dalam perayaan ini, penduduk setempat akan memasang lampu di halaman rumah, dan jalan menuju masjid sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadhan di Kota Gorontalo. Dilakukan pada tiga malam terakhir jelang hari raya Idul Fitri.
BACA JUGA:Bau Mulut Saat Puasa dalam Islam Lebih Harum dari Bau Kasturi, Ini Hadits Shahih yang Menerangkan
Dahulu, festival ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat melakukan zakat di malam hari. Kini, tradisi ini menjadi salah satu acara yang ditunggu-tunggu.
Tak hanya lampu dan lentera yang menghiasi kota, festival Tumbilotohe juga dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, seperti meriam bambu dan festival bedug.
7. Perang Topat
Perang Topat merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Lombok pada enam hari setelah Lebaran. Meski disebut Perang Topat alias perang ketupat, sama sekali tidak tersirat rasa benci di dalamnya.
Malahan, tradisi ini justru melambangkan rasa syukur serta kerukunan umat beragama di Lombok.
Tradisi ini dilakukan dengan mengarak berbagai hasil bumi, kemudian dilanjutkan dengan selebrasi saling melempar ketupat antara suku Sasak dan Bali. Yang menarik, event ini dilakukan di sebuah pura, yaitu Pura Lingsar di Lombok Barat.