Namun, praktik semacam itu juga dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dalam budaya populer, termasuk dalam literatur, film, dan media sosial.
Praktik ilmu pelet telah menjadi bagian integral dari berbagai budaya lokal di Indonesia, dengan pendekatan yang berbeda-beda tergantung pada tradisi dan kearifan lokal masing-masing daerah.
Dalam banyak kasus, ilmu pelet dianggap mirip dengan hipnoterapi, tetapi dilakukan dengan cara yang lebih halus dan seringkali dari jarak jauh.
Di antara budaya-budaya seperti Banten, Cianjur, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sumatera, terdapat perbedaan dalam metode dan teknik yang digunakan.
Salah satu aspek yang mencolok dari ilmu pelet adalah penggunaan mediator atau sarana untuk memfasilitasi pengaruh seseorang terhadap calon "korban" yang diincarnya.
Mediator ini sering kali berupa benda-benda seperti kembang kantil putih, rajah (tulisan Arab yang ditulis di kertas), foto-foto yang dituju, pakaian dalam korban, potongan rambut, atau helaian rambut.
BACA JUGA:Begini Penanganan Pertama Terkena Luka Tertusuk Duri Sawit, Awas Infeksi! Siapkan Obat Antibiotik
Penggunaan media-media ini dianggap sebagai bagian dari praktik ilmu pelet dan diyakini dapat memperkuat efek spiritualnya.
Selain menggunakan mediator fisik, beberapa praktisi ilmu pelet juga memanfaatkan arwah seseorang yang telah meninggal untuk merasuk ke tubuh seseorang yang mereka tuju.
Hal ini sering kali terkait dengan kepercayaan spiritual dan kultural tertentu yang mengaitkan arwah dengan pengaruh magis. Ada juga praktik-praktik seperti Semar Mesem, Ilmu Jaran Goyang, dan Bulu Perindu yang diyakini memiliki kekuatan untuk memikat hati seseorang secara langsung.
Sebagai contoh, dalam budaya Jawa, terdapat kepercayaan akan kekuatan rajah yang ditulis di telapak tangan seseorang. Rajah ini diyakini dapat membuat seseorang tertarik secara instan setelah berjabat tangan dengan pemilik rajah tersebut.
BACA JUGA:KTA Dana Instant Danamon Pinjaman Rp 25 Juta Angsuran Ringan, Ada 3 Pilihan Pengajuan
Penting untuk dicatat bahwa praktik-praktik ini sering kali melibatkan persiapan dan ritual tertentu, seperti puasa, sebelum mereka dianggap efektif.
Meskipun banyak orang yang percaya pada kekuatan ilmu pelet, praktik ini juga menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran etis.
Penggunaan ilmu pelet untuk memanipulasi perasaan seseorang tanpa persetujuannya dapat dianggap tidak etis dan dapat berpotensi merugikan semua pihak yang terlibat.