Dana Desa Rawan Diselewengkan, Ini Modus Korupsi Oknum Perangkat Desa
Awasi penggunaan dana desa--
Namun, laporan tersebut sering dimanipulasi, di antaranya melalui praktik pengurangan jumlah barang dari yang tercantum, mengubah kualitas barang menjadi lebih rendah, atau membuat pembelanjaan fiktif.
Jadi, laporan yang dibuat tidak sesuai dengan kondisi pelaksanaan kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). ICW menemukan selama 2015-2017 terdapat 17 kasus laporan fiktif.
Contoh kasus laporan fiktif, misalnya, terjadi di Desa Larpak, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan, pada tahun anggaran 2016. Kasus ini menjerat Musdari (Penjabat Desa Larpak) dan Moh Kholil (pelaksana proyek). Mereka membuat laporan dana desa 2016 seakan-akan proyek sudah selesai dilaksanakan. Kerugian negara Rp 316 juta.
Kasus lain, yaitu menjerat Sahirpan, Kepala Desa Terong Tawah, NTB. Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp100 juta. Selain itu, wajib membayar Rp287,98 juta dalam kurun waktu sebulan, jika gagal membayar maka harta bendanya akan disita untuk ganti rugi.
Juga, kasus Subardan, Kepala Desa di Pewodadi, Lampung yang divonis hukuman dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider dua tahun, serta membayar uang pengganti lebih dari Rp 200 juta. Jika gagal bayar, hartanya akan disita dan dilelang untuk mengganti uang tersebut. Jika hasil lelang tidak cukup, maka akan dipidana lagi selama sembilan bulan.
6. Penggelapan
Salah satu kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan dilakukan oleh Kepala Desa Matang Ulim, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara tahun 2017. Ia menggelapkan dana desa sebesar lebih dari Rp 325 juta. Modusnya, ia memalsu tanda tangan bendahara desa dalam proses pencairannya. Uang dipakai membayar utang dan liburan ke Malaysia. ICW menyebutkan, selama 2015- 2017 terdapat 32 kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan.
Dalam Buku Panduan Desa Antikorupsi (2018) disebutkan beberapa faktor maraknya korupsi pada sektor desa:
• Minimnya pemahaman masyarakat tentang pembangunan desa, termasuk mengenai anggaran desa serta hak dan kewajiban mereka.
• Belum optimalnya fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengawasi penggunaan anggaran.
• Keterbatasan akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat desa terkait pengelolaan dana desa, layanan publik, dan sebagainya.
• Keterbatasan atau ketidaksiapan kepala desa dan pengelola lainnya ketika harus mengelola dana dalam jumlah besar.
Untuk mencegah korupsi di sektor desa terjadi kembali, KPK pun membuat program Desa Antikorupsi dengan tujuan:
BACA JUGA:Cara Pinjam Uang Rp10 Juta di Pegadaian Tanpa Gadai Barang, Berikut Syarat yang Harus Dipenuhi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: