NASIONAL, RBTVCAMKOHA.COM – Apa hukum istri utang tanpa sepengetahuan suami? Ini hukumnya, jangan anggap sepele!
Bolehkah istri berutang pada orang lain tanpa sepengetahuan suami?
Sebagai istri, memang harus patuh pada suami, segala yang dilakukan harus seizin suami bahkan untuk berpuasa sunnah pun harus sepersetujuan suami.
BACA JUGA:Menurut Imam Ibnu Hazim, Ayam dan Angsa Bisa Dijadikan Hewan Kurban, Ini Penjelasannya
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
"Seorang istri tidak boleh berpuasa ketika ada suaminya, walau hanya sehari, selain pada bulan Ramadhan, kecuali ada izin dari suami" (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Abu Hurairah r.a.).
Istri boleh berutang kepada orang lain tanpa seizin suami. Tapi hal ini hanya boleh dilakukan oleh istri jika dalam keadaan amat terpaksa.
Hukum Islam sebagaimana juga ditulis oleh Muhammad Fatkhudin sama halnya dengan sabda Nabi SAW diatas, Istri melakukan utang asalkan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, maka diperbolehkan dengan izin suami terlebih dahulu.
BACA JUGA:Menurut Imam Ibnu Hazim, Ayam dan Angsa Bisa Dijadikan Hewan Kurban, Ini Penjelasannya
Sedangkan utang istri tanpa izin suami untuk kebutuhan mendesak, maka tanpa melakukan izin dahulu karena keadaan darurat diperbolehkan.
Namun ketika keadaan sudah memungkinkan maka istri tetap wajib izin, selanjutnya jika istri hutang tanpa izin suami untuk kebutuhan tambahan, bukanlah menjadi tanggungjawab suami untuk melunasinya, karena istri sudah berbuat nusyuz.
Hal ini disandarkan pada kaidah ushul fiqih: Adh-dharuratu tubihul mahzhurát (keadaan darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang mestinya dilarang).
Dalam hadits tentang istri Abu Sufyan di atas, Rasulullah memberi syarat bolehnya istri mengambil uang belanja tanpa sepengetahuan suami yang pelit adalah secara makruf (secara baik dan bijak atas pertimbangan kemaslahatan).
BACA JUGA: Jukir Demo Kantor Alfamart Bengkulu Pasca MoU, Ngotot Ingin Tetap Tarik Retribusi Parkir
Maka, dalam kasus istri berutang tanpa seizin suami ini pun harus dilakukan secara makruf pula; artinya harus benar-benar untuk kebutuhan riil rumah tangga, dan harus dalam batas kemampuan wajar suami karena utang tersebut menjadi tanggung jawab suami untuk mengembalikannya.
Adapun Hadits Rasulullah, dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?”
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud 2142, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).