Ada yang mengatakan bahwa bulan Muharram terkenal dengan bulannya priyayi. Dulu, hanya bangsa keraton yang dapat melangsungkan hajatan di bulan Muharram.
Bahkan yang paling tidak masuk akal, penguasa laut Selatan, Nyi Roro Kidul, konon sedang melaksanakan pernikahan. Keyakinan tersebut secara turun-temurun membuat masyarakat enggan melaksanakan pernikahan.
Makanya, masyarakat Jawa biasanya melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Dzulhijjah (besar). Bulan tersebut dipercaya sebagai bulan keselamatan.
2. Dilarang Berbicara Kotor
Dalam Jurnal Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang berjudul 'Ritual Menyambut Bulan Suro pada Masyarakat Jawa', dijelaskan bahkan masyarakat Jawa beranggapan bahwa bulan Suro sebagai bulan yang baik tetapi sekaligus sebagai bulan yang penuh bahaya.
Yang dimaksud dengan bahaya di sini yaitu karena di bulan ini banyak pantangan atau larangan sehingga berbagai pantangan dan ritual mereka lakukan pada bulan Suro tersebut.
Selama bulan Suro harus mengontrol ucapan dari mulut kita agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Suro yang penuh terikat, doa-doa lebih mudah terwujud, dan harus lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT.
BACA JUGA:Daftar Promo KFC Bulan Juli 2024, Mulai dari Promo Paket Besar hingga Free Winger Bucket
3. Dilarang Membuat dan Pindah Rumah
Masyarakat Jawa sangat mempercayai waktu baik dan waktu buruk, termasuk memulai pekerjaan besar seperti membangun rumah.
Tidak hanya membangun rumah, pindahan rumah pun dari rumah lama ke rumah yang baru, harus dipilih waktu yang tepat.
Salah satu waktu yang dilarang untuk membangun rumah adalah bulan Suro. Hal ini untuk menjaga keselamatan penghuni rumah itu sendiri dari kesialan yang berkepanjangan.
Terkait dengan hal tersebut Prof KH Yahya Zainul Ma'arif Lc MA PhD dalam sebuah videonya di kanal Youtube Al Bahjah TV menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada aturan khusus mengenai waktu yang baik untuk membangun rumah.
"Semua bulan baik. Enggak usah Muharram, Rajab atau Puasa, yang penting yang bangun ikut puasa Ramadhan. Tidak ada yang begitu begitu," terang Buya Yahya