Jadi, untuk mempertahankan karier publik mereka, banyak selebritas melakukan lavender marriage tanpa cinta dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari penghakiman dan kebencian masyarakat.
Menjelang akhir abad ke-20, terjadi perubahan pada komunitas LGBTQ+ yang ditandai dengan Kerusuhan Stonewall tahun 1969 sebagai tanda perubahan.
BACA JUGA:5 Ide Usaha Rumahan Modal Kecil Untuk Ibu Rumah Tangga, Omset Sampai Jutaan per Bulan
Setelah Kerusuhan, komunitas LGBTQ+ membalikkan keadaan dan menarik perhatian pada tuntutan persamaan hak dan rasa hormat terhadap komunitas queer di Amerika Serikat.
Lambat laun, seiring dengan meningkatnya penerimaan terhadap hubungan sesama jenis dan komunitas queer mulai mendapatkan dukungan, lavender marriage hampir menghilang.
Namun, dalam komunitas dan budaya khususnya di Asia Selatan dan negara-negara Asia, hubungan sesama jenis masih belum dapat diterima.
Dampak dari Lavender Marriage
Lavender marriage yang sering kali terbentuk karena ekspektasi masyarakat menghadirkan serangkaian tantangan dan kenyataan. Penting untuk memahami beragam dimensi dan potensi dampak yang ditimbulkannya bagi mereka yang terlibat.
1. Tekanan emosional yang intens
Individu dalam lavender marriage akan mengalami konflik antara pandangan publik dan keinginan pribadi. Konflik batin ini akan menyebabkan tekanan emosional yang mendalam dan menghasilkan gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, atau bahkan krisis identitas.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan yang terus-menerus ini dapat mengikis kesehatan mental, sehingga hal ini bisa membuat kehidupan sehari-hari menjadi hal yang sulit untuk dipertahankan.
2. Tantangan dalam hubungan
Dalam lavender marriage, tidak adanya ikatan romantis yang sejati menciptakan landasan ketidakpuasan dan rasa kesepian. Pasangan dalam pernikahan ini mungkin menghadapi konflik berkelanjutan karena kurangnya keintiman dan hubungan emosional.
Rasa kesepian dan hampa yang mendalam akan membuat hubungan terasa menantang karena tidak adanya rasa cinta untuk saling menguatkan.
3. Merasa terisolasi secara social