Iklan RBTV Dalam Berita

Tegakkan Moralitas dan Etika di Kehidupan Berbangsa, BPIP Gali Nilai-nilai Universal Agama

Tegakkan Moralitas dan Etika di Kehidupan Berbangsa, BPIP Gali Nilai-nilai Universal Agama

Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama --

“Yang jadi keprihatinan adalah kita saksikan peluruhan etika dan moralitas publik yang banal di depan mata. Sebuah paradoks di negara yang beragama dan Pancasila,” imbuhnya.

BACA JUGA:7 Kue Khas Bengkulu yang Wajib Anda Cicipi, Rasanya Mantul

Beberapa problematika diantaranya praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, egoism, hedonism, perilaku diskriminatif, perampasan terhadap sumber daya alam, perusakan lingkungan (ecological justice), perdagangan manusia (human trafficking), krisis integritas dan banyaknya conflict of interest, politisasi agama dan politik identitas, menguatnya stereotif negatif dan prejudice, oligarki.

Kemudian, munculnya politisi rabun ayam menurut buya Hamka (radikal, rakus, tamak), rezim agama, ekstrimisme keagamaan, rendahnya amanah dan tanggung jawab dalam pemerintahan hingga menyebabkan erosi kepercayaan publik dan lain sebagainya.

Jika ditelusuri salah satu akar persoalan etika, hal ini bukan hanya persoalan negara tetapi juga merupakan persoalan masyarakat “negara fotokopi Masyarakat” sehingga kesalahan sistem pembentukan karakter masyarakat menentukan sistem bernegara yang ideal.

BACA JUGA:Efek Jera, 7 Pelajar SMP Ini Dihukum Tiduran di Selokan Lantaran Berbuat Hal Ini

“Kalau kita gunakan cara pandang bahwa elite yg terpilih itu adalah representasi, pantulan dari warga kita. Maka yang harusnya diperbaiki adalah warga kita,” ujar Direktur Eksekutif Maarif Institute, Halili Hasan

Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, menjelaskan satu contoh persoalan masyarakat yang determinan dengan problem kerapuhan etika adalah karena pola asuh yang memberi kebebasan dan toleransi pada anak usia dini.

Sehingga menyebabkan anak menjadi minim tanggung jawab, egois, self sentris, permisif, mentalitas menerabas, tidak disiplin, meremehkan mutu (meritocracy), berwatak lemah, tidak berpendirian, boros, dan tidak mau bekerja keras.

“(Pola asuh) itu tidak membentuk karakter, apalagi karakter tanggung jawab. Tanggung jawab adalah inti dari semua karakter mulia. Orang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakat kita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkap Tamrin

BACA JUGA:Entah Apa yang Merasuki, Ibu Kandung Tega Aniaya Anak Hingga Lebam, Berakhir di Jeruji Besi

Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggal serta sistem komunal “Big man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga).

Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta. Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakat Barat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mandiri.

Sehingga, saat dewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadari bahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.

BACA JUGA:Pelaku Curanmor Semakin Ganas, Lagi Motor Mahasiswa Hilang Dicuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: