Selanjutnya, ibu mengajakku masuk sementara Rasulullah SAW sedang duduk. Ibu mendudukkanku di pangkuannya sambil berkata: ‘Mereka adalah keluargamu. Semoga Allah memberkahimu karena mereka dan semoga Dia memberkahi mereka karenamu”.
Sayyidah Aisyah adalah pengantin wanita yang manis, tubuhnya langsing, kedua matanya lebar, rambutnya ikal, dan wajahnya bersinar kemerah-merahan. Kini Aisyah telah berpindah ke rumah barunya. Rumah itu hanyalah sebuah kamar di antara beberapa kamar yang dibangun mengelilingi masjid dan terbuat dari bata dan batang kurma.
BACA JUGA:Dahulukan Nafkah Ibu Kandung atau Istri? Para Suami Pahami Pandangan Islam Ini
Di dalam rumah ini, diletakkan satu alas tidur dari kulit kayu. Tidak ada yang membatasi antara alas tidur ini dan tanah selain tikar, dan pada daun pintunya, diberaikan tabir yang terbuat dari serabut.
Orientalis Boudly mengatakan, “Sejak Aisyah menginjakkan kaki di rumah Muhammad SAW, semua merasakan keberadaanya. Jika ada seorang gadis yang mengetahui apa yang sedang dihadapi, ia adalah Aisyah binti Abu Bakar. Aisyah telah membangun kepribadian sejak hari pertama ketika ia memasuki rumah Rasulullah yang mengelilingi masjid itu ....”
Di dalam kamar sederhana itu, di tengah kehidupan rumah tangga Nabi, Sayyidah Aisyah r.a. tumbuh menjadi guru bagi setiap wanita di seluruh dunia dan sepanjang sejarah.
Aisyah menjadi istri terbaik yang selalu menghibur suami, memberikan kebahagiaan, dan menghilangkan beban yang beliau alami di luar rumah akibat pergumulan dengan kehidupan dan berdakwah di jalan Allah SWT.
Aisyah menjadi istri yang terbaik, memiliki tangan maupun hati yang mulia. Aisyah mampu bersabar bersama Rasulullah SAW dalam menghadapi kemiskinan dan kelaparan hingga pernah melewati berhari-hari tanpa ada apa di rumah Rasulullah untuk sekedar memasak roti ataupun sesuatu yang bisa dimasak. Mereka berdua hanya hidup dengan makan kurma dan air.
BACA JUGA:Bisa Menghidupkan Makhluk yang Sudah Mati, Ini 7 Wali Allah Bisa Melakukannya
Ketika kaum Muslimin mengalami kehidupan yang makmur, suatu hari Aisyah dihadiahi 1.000 dirham oleh Mu’awiyah. Saat itu Aisyah sedang berpuasa dan tidak memiliki apa pun untuk berbuka. Aisyah pun menerima dirham-dirham itu lalu membagikan seluruhnya kepada para fakir miskin.
Karena itu, budak Aisyah bertanya, “Tidakkah engkau bisa menggunakan 1 dirham saja untuk membeli daging guna berbuka nanti?” Aisyah menjawab, “Andai engkau mengingatkanku (tadi) pastilah aku melakukannya.”
Aisyah tidak pernah tertekan oleh kemiskinan dan tidak pula kegirangan oleh kekayaan. Ia mampu menajaga kehormatan diri hingga dunia menjadi remeh baginya. Aisyah tidak menghiraukan kedatangan maupun kepergian dunia.
Demikianlah, Aisyah r.a. menjadi wanita yang sangat mementingkan waktu untuk mendengar dari Rasulullah hingga ia berhasil menguasai ilmu dan balaghah yang membuatnya layak menjadi guru para laki-laki serta menjadi rujukan bagi mereka dalam bidang hadis, sunnah, dan fikih. Dalam hal ini, az-Zuhri mengatakan, “Andaikan ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, pastilah ilmu Aisyah lebih tinggi.”
Hisyam ibn ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bersahabat dengan Aisyah. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih memahami suatu ayat yang turun, suatu keajaiban, suatu sunnah, atau sebuah syair—tidak pula ada yang lebih kuat dalam meriwayatkannya, atau suatu hari yang berjalan di kalangan Bangsa Arab, nasab, tentang hukum, maupun kedokteran dibandingkan dengan Aisyah.
BACA JUGA:3 Zikir Sakti Wali Allah, Dibongkar Ulama Poros Dunia Habib Umar dan Abah Guru Sekumpul
Selanjutnya, aku bertanya kepadanya: ‘Wahai bibi, dari manakah engkau memahami perihal kedokteran?’ Aisyah menajawab: ‘Aku pernah sakit lalu nabi menjelaskan sesuatu kepadaku kemudian ada orang yang sakit lalu nabi menjelaskan sesuatu kepadanya. Aku mendengar orang saling mengabarkan satu sama lain dan aku mengahafalnya’.”