Sembari menjalankan aktivitasnya di militer, AH Nasution diam-diam memberikan pelajaran kemiliteran bagi pemuda-pemuda pribumi yang tergabung di organisasi Pasundan.
Karier AH Nasution di militer semakin naik seiring berjalannya waktu. Belum setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada Maret 1946 AH Nasution diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan.
Tak lama kemudian, ia kembali diangkat sebagai Panglima Regional Divisi Siliwangi yang bertugas di Provinsi Jawa Barat. Selama menjabat ia banyak terlibat dengan peristiwa perang pasca-kemerdekaan.
Selama masa pendudukan Jepang, AH Nasution banyak membaca buku tentang militer dan mengikuti program-program yang diadakan militer Jepang. Oleh karena itu, ia banyak mendapatkan inspirasi teknik perang dari pemikiran militer Jepang.
AH Nasution melepas masa lajangnya satu tahun kemudian. Ia bertemu dengan Johana Sunarti, seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia merupakan putri dari R.P. Gondokusumo, seorang tokoh pergerakan sekaligus petinggi Sarekat Islam.
Ia merupakan tokoh yang disegani kala itu, termasuk oleh Belanda dan dijuluki sebagai 'Jago Tua'. Pernikahan antara Sunarti dan AH Nasution berlangsung di Ciwidey, Jawa Barat pada 30 Mei 1947.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya bernama Hendrianti Shara Nasution, sedangkan anak kedua adalah Ade Irma Nasution yang tewas dibunuh pada peristiwa G30S 1965.
Belum sempat merasakan manisnya kehidupan rumah tangga, AH Nasution harus memimpin perang kemerdekaan. Masih di tahun yang sama, Belanda datang ke Nusantara dan berusaha untuk mencegah kemerdekaan.
AH Nasution kemudian menjadi pemimpin yang mengatur pasukan saat era Agresi Militer Belanda 1947. Berkat pengetahuannya di bidang militer, ia menerapkan praktik perang gerilya yang berhasil memukul mundur Belanda.
AH Nasution sempat dilanda konflik politik dengan Presiden Indonesia kala itu Soekarno. AH Nasution dan beberapa jenderal ABRI merasa ketidakpuasan terhadap parlemen saat itu.
Ia menganggap bahwa DPRS sudah telalu ikut campur atas operasional ABRI dan meminta agar Soekarno membubarkan DPRS. Permintaan itu lantas ditolak Soekarno yang menyebut jika DPRS dibubarkan, maka dirinya akan menjadi seorang ditaktor.
Lalu, terjadilah Peristiwa 17 September 1952. AH Nasution mengorganisir 30.000 orang demonstran ke Istana Negara. Para demonstran kemudian mendesak pembubaran DPRS dan mempercepat pemilu.
Tuntutan tersebut akhirnya diselesaikan melalui Rapat Collegial 1955 yang menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat. Piagam tersebut memuat pernyataan terkait keutuhan di tubuh angkatan darat. Sayangnya, setelah rapat tersebut dilaksanakan parlemen mendesak presiden untuk mencopot AH Nasution dari jabatannya.
Namun, sebelum dicopot, AH Nasution mengajukan pengunduran diri dari militer. Meskipun demikian, pada 1958 AH Nasution diangkat menjadi Menteri Keamanan Nasional berpangkat Letnan Jenderal. Ini terjadi setelah berlangsung reorganisasi Angkatan Darat.
Pada 1965, AH Nasution diincar oleh beberapa oknum yang tergabung dalam pasukan pengaman presiden, Cakrabirawa, untuk diculik dan dibunuh. Seorang pelaku G30S 1965 secara membabi buta melepas tembakan ke rumah sang jendreal.
Beruntung, AH Nasution berhasil kabur dengan melompat pagar dan berlindung ke rumah tetangganya seorang Duta Besar Irak. Sementara itu, Pierre Tendean yang sekilas wajahnya mirip dengan AH Nasution, dibunuh bersama sang putri Ade Irma Suryani yang masih berusia 5 tahun kala itu.