BACA JUGA:Ditransfer ke Rekening Oktober Ini, Anak Sekolah bakal Terima Uang Rp 500.000 Gratis dari Pemerintah
Karenanya MUI menekankan bahan tambahan tersebut juga harus berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa produk akhir tetap sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Sementara itu, pandangan berbeda disampaikan Nahlatul Ulama (NU) Jatim tentang penggunaan Karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik berbeda. Menurut Bahtsul Masail NU Jatim, pewarna Karmin yang berasal dari serangga dianggap haram dan najis untuk dikonsumsi.
BACA JUGA:Kabar Terbaru Pencairan Bansos BPNT dan PKH, Cair Bulan Ini Berikut Besarannya
Keputusan ini berdasarkan pandangan dalam Madzhab Syafi'i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan. Oleh karena itu, konsumsi produk yang mengandung pewarna Karmin dari serangga dilarang dalam pandangan Madzhab Syafi'i yang dianut oleh NU Jatim.
Namun, perlu diingat bahwa ada perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab fikih dalam Islam. Sebagian mazhab, seperti Madzhab Maliki, memiliki pandangan yang berbeda tentang konsumsi bangkai serangga.
Di Indonesia, produk makanan dan minuman yang dijual bebas harus memenuhi persyaratan kehalalan, mengingat mayoritas penduduknya adalah umat Islam. MUI menjelaskan bahwa pewarna Karmin yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, selama pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.
BACA JUGA:Rezeki Durian Runtuh Awal Bulan, Berikut Daftar Bansos yang Cair Oktober 2023
Namun, penting untuk memahami bahwa penggunaan pewarna Karmin juga melibatkan bahan tambahan seperti pelarut, pelapis, dan pengemulsi, yang bisa berasal dari hewan.