Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa bahan tambahan tersebut juga berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal.
Untuk lebih memahami pewarna karmin, kita dapat melihat proses produksinya. Serangga Cochineal hidup di atas kaktus pir berduri dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman. Serangga ini memiliki kesamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.
BACA JUGA:Hoki Sepanjang Hidup, 4 Tanggal Ini Dilindungi Eyang Semar, Rezekinya Melimpah Ruah
Proses produksi pewarna Karmin melibatkan beberapa langkah, mulai dari pasangan serangga pada kaktus hingga pengeringan dan penghancuran. Serangga Cochineal dikeringkan dan dihancurkan menjadi serbuk berwarna merah tua. Untuk memunculkan warna yang diinginkan, serbuk ini biasanya dicampur dengan larutan alkohol asam.
Penggunaan Karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik menjadi perdebatan dalam pandangan Islam. Fatwa MUI menganggap penggunaan Karmin halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan, serta bahan tambahan yang digunakan juga berasal dari hewan halal dan diproses secara halal.
Sementara itu, pandangan NU Jatim menganggap Karmin haram berdasarkan pandangan Madzhab Syafi'i yang dianut. Bagi masyarakat Indonesia, kehalalan produk makanan dan minuman adalah hal yang penting, dan MUI telah menjelaskan bahwa karmin yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, selama memenuhi persyaratan kehalalan.
BACA JUGA:Cek Rekening, Bansos PIP Kemendikbud Tahap 3 Bulan Oktober Ditransfer ke Rekening
Dalam memahami hukum penggunaan pewarna Karmin, penting untuk memperhatikan pandangan agama dan regulasi yang berlaku serta memastikan bahwa bahan tambahan yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Tim liputan