Catatan Zacky Antony
MALAM ITU, selepas Sholat Isya, dua geng anak-anak Panorama terlibat “tawuran” kecil. Tapi jangan bayangkan tawuran seperti zaman sekarang pakai batu atau senjata tajam. Itu hanya tawuran bujang-bujang tanggung. Kenakalan remaja. Bukan permusuhan.
Tawuran usai pulang ngaji di Masjid itu, hanya menggunakan kain sarung yang telah digulang-gulung. Mereka saling pukul dengan kain sarung. Kejar-kejaran antar geng. Satu geng pimpinan anak muda bernama Zulkarnain. Satu geng lagi pimpinan anak muda bernama Mahyudin Shobri. Kisah menggelikan itu diceritakan Mahyudin Shobri sendiri. Itu terjadi di Panorama sekitar tahun 1970-an.
BACA JUGA:Mau Nyalon DPD RI ?, Ini Syaratnya
“Kalau kami pulang habis ngaji. Sering bergelut. Bukan berkelahi. Kito ngumpul. Kejar-kejaran. Kito buat sarung dibulat-bulat, sehingga sarung jadi semacam ekor pari. Saling pukul. Saling kejar. Saya tidak segeng dengan beliau (Zulkarnain). Beliau rombongan Abu Kasyim, Abu Bakar dll,” kenang Mahyudin Shobri sambil tertawa.
Mahyudin yang berbadan lebih kecil, sering terdesak dalam tawuran itu. dia yang suka tampil parlente, sering menjadi sasaran geng Zulkarnain. “Saat saya terdesak, saya coret bajunya pakai pena. termasuk baju beliau (Zulkarnain),” katanya terkekeh.
BACA JUGA:Ini Sebab Kursi DPRD Dapil Kepahiang Berkurang
Sampai sekarang, Mahyudin selalu teringat kenangan tak terlupakan itu. Siapa sangka, diantara anak-anak pengajian yang bergelut malam itu, puluhan tahun kemudian menjadi seorang guru besar sekaligus Rektor sebuah perguruan tinggi Islam negeri di bumi tempat dia dilahirkan. Dia adalah Prof. Dr. KH. Zulkarnain, M.Pd. “Waktu itu belum ada tanda-tanda, beliau menonjol. Nakalnya sama dengan yang lain,” lanjut Mahyudin lagi.
Kegiatan anak-anak remaja pada masa itu, cerita Mahyudin, malam hari wajib mengaji tujuh malam full. Malam Senin belajar sholat, hadist dll. Malam Jumat membaca Yasin. Malain lainnya belajar Alquran. Guru mengajinya adalah H. Muhammad Thaib dan H. Muhammad Husen. Masjid-masjid ramai orang mengaji waktu itu.
BACA JUGA:Penduduk Bengkulu 2.047.110 Jiwa, Ada Potensi Pergeseran Kursi DPRD
Mahyudin Shobri adalah kawan karib semasa kecil Zulkarnain Dali. Mereka sama-sama satu kelas ketika sekolah di MIN Nurul Huda Jalan Danau dan MTs yang dulu masih di Jalan Danau sebelum pindah ke Jalan Nangka. Di kemudian hari, mereka menjadi satu keluarga. Sama-sama dibesarkan di lingkungan keluarga religius. Budaya mengaji sangat kental di kalangan masyarakat Lembak. Anak-anak wajib mengaji habis Magrib. Sampai khatam Alquran.
Tak terkecuali Zulkarnain Dali. Masa-masa kecilnya akrab dengan Masjid. Dia berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya H. Muhammad Dali adalah khatib di masjid induk Al Huda Panorama. Sedangkan ibunya Hj. Nikmah juga seorang muslimah yang taat. Nama Masjid An Nikmah di Panorama adalah nama ibu sang rektor.
Zulkarnain Dali mewarisi bakat pendakwah dari ayahnya. Di masa kecil, dia melihat dan mengalami bagaimana turun ke sawah. Bekerja mencari penghasilan tambahan membantu orangtua dengan mencetak batu bata.
BACA JUGA:Bertabur Bintang Calon DPD Bengkulu, Ini Peta Sebaran Dukungan
“Orang tuanya berpendidikan agama semua. Ibunya, kalau Sabtu Minggu sering jual lemang. Kalo ayahnya adalah khatib, penceramah serta imam masjid. Kalo lagi musim sawah, orangtuanya banyak sawah, Udo Zul itu sering ke sawah,” tambah Mahyudin.