Pada tahun 1982, barulah kerajaan bisnis Salim Group memasuki bisnis mi instan dengan memperkenalkan merek lain bernama Sarimi.
Awalnya, mengingat pada saat itu posisi Salim yang kuat (bahkan memonopoli) perdagangan terigu dengan Bogasari, Salim menginginkan merek Indomie yang populer itu agar berpindah kepadanya.
Selain itu, pada saat itu Indonesia sedang mengalami swasembada padi sehingga pabrik Sarimi menjadi kelebihan operasional.
BACA JUGA:Pinjaman Taspen untuk PNS, Plafon Sampai 150 Juta, Ini Syarat Lainnya Selain Usia Maksimal 61 Tahun
Diharapkan, jika Indomie mau bekerja sama dengan Sarimi, maka Salim Group tidak perlu merugi.
Namun, Djajadi menolak keinginan itu. Respon Salim adalah membesarkan produk Sarimi-nya dengan agresif dengan banyak iklan dan promosi, sehingga bisa meraih pasar 40 persen dalam waktu cepat.
Melihat "keperkasaan" Salim Group itu, Djajadi pun melunak dengan tawaran baru dari Salim.
Pada tahun 1984, keduanya sepakat untuk membentuk perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna Corporation. Di sini, Djajadi (dan rekan-rekannya) mendapat 57,5 persen dan Salim 42,5 persen.
Lalu, pada 30 Agustus 1986, saham PT Sanmaru yang memproduksi Indomie diambil alih oleh PT Indofood Interna (serta selanjutnya juga diakuisisi PT Super Mi Indonesia dari pemegang saham lain).
Pada saat itu, PT Sanmaru sudah punya dua produk yang populer, selain Indomie, sejak 1983 ada Chiki, sebuah makanan ringan yang populer di kalangan anak-anak.
Untuk Indomie sendiri, saat itu sudah memiliki beberapa varian, seperti kari ayam (1980), sop sapi, dan mi goreng (1982).
Menjelang tahun 1986, Indomie sudah memiliki 4 pabrik, yaitu di Jakarta (Ancol), Medan, Surabaya dan Palembang, dengan karyawan pada tahun 1990 mencapai 2.900 orang.
Entah bagaimana, kemudian saham Djajadi (dan rekan-rekan) di PT Indofood Interna seluruhnya menjadi kekuasaan Salim.
Menurut Anthony Salim, saham itu bisa menjadi milik mereka karena Djajadi (dan rekan-rekannya) sibuk berkonflik sehingga Salim dapat mencari untung di saat itu.
Memang, pada saat itu salah satu partner Djajadi di PT Wicaksana, Pandi Kusuma justru memilih menjadi partner Salim.