Tongkat pusaka Kanjeng Kiai Tjokro konon di buat untuk seorang Sultan Demak pada abad ke-16.
Tongkat pusaka ziarah ini diberikan kepada Pangeran Diponegoro pada 1815 oleh seorang warga biasa asal Jawa. Kemudian di gunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa bagian selatan.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi benda pusaka sangat penting bagi Diponegoro karena terdapat simbol cakra di ujung atas tongkat.
BACA JUGA:Kesaktian Tongkat Komando Pucang Kalak Bung Karno, Terbukti Lolos Tembak Jarak Dekat
Menurut Peter Carey, sejarawan spesialis Pangeran Diponegoro, tongkat tersebut di peroleh Pangeran dari warga pada sekitar tahun 1815.
Tongkat itu lantas di gunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta.
Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.
JC Baud menerima Tongkat Pangeran Diponegoro, yang juga dis ebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo.
Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Notoprojo di kenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.
BACA JUGA:Hanya Menggunakan Tongkat, Abu Nawas Bisa Mengungkap Kasus Pencurian
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro di persembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834.
Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda.
Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro dan di pulangkan kembali ke Tanah Air.
Demikianlah ulasan, Riwayat tongkat Kiai Cokro Pangeran Diponegoro, pusaka untuk perjalanan spiritual.