Tak Perlu Risau, Kesehatan Mental Dijamin Program JKN
BPJS Kesehatan--
NASIONAL, RBTV.DISWAY.ID - Tidak beda halnya dengan kesehatan fisik, rupanya kesehatan mental juga perlu dijaga sebaik mungkin.
Kenapa demikian? karena tidak bisa kita pungkiri gangguan pada kesehatan mental bisa memiliki efek yang serius dalam kehidupan kita.
BACA JUGA:Beraksi di Warung Ayam Geprek, Pencuri Dapat Ratusan Ribu dari Kotak Amal
Bahkan, apabila tidak segera diatasi, maka gangguan kesehatan mental bisa menyebabkan masalah kesehatan emosional, perilaku dan fisik yang parah.
Meskipun demikian, tidak sedikit yang bingung, apakah mental health bisa dilakukan dengan menggunakan BPJS Kesehatan.
Sehingga, artikel berikut menarik untuk diketahui, karena akan memberikan informasi terkait hal tersebut.
BPJS Kesehatan Tanggung Layanan Kesehatan Jiwa?
Adanya tren peningkatan pemanfaatan layanan Kesehatan jiwa dalam lima tahun terakhir, akhirnya membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menegaskan jika layanan kesehatan jiwa merupakan hak seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Diketahui, sepanjang tahun 2020 hingga 2024, total pelayanan Kesehatan jiwa di rumah sakit mencapai hingga Rp 6,77 triliun dengan total kasus sebanyak 18,9 juta jiwa. Hal ini menunjukan pentingnya akses yang setara bagi kesehatan fisik maupun mental.
Disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti dalam keterangan tertulisnya, sementara untuk gangguan mental kronis dan serius (Skizofrenia) menjadi diagnosis dengan beban biaya dan jumlah kasus tertinggi, yakni sebanyak 7,5 juta kasus dengan total pembiayaan Rp 3,5 triliun.
“Skizofrenia (gangguan mental kronis dan serius) menjadi diagnosis dengan beban biaya dan jumlah kasus tertinggi, yakni sebanyak 7,5 juta kasus dengan total pembiayaan Rp 3,5 triliun," ujar, Rabu (17/9/2025).
BACA JUGA:Wajib Coba, Ini Kumpulan Prompt Gemini AI di Stadion Barcelona dan Real Madrid
Ditambahkan Ghufron, jika layanan kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebelah mata. Ini merupakan hak fundamental yang harus dijamin negara.
Sehingga, BPJS Kesehatan bersama pemangku kepentingan akan terus memperkuat sistem agar masyarakat mendapat akses pengobatan dan rehabilitasi yang tepat.
Tercatat pada tahun 2024 lalu, setidaknya terdapat sekitar 2,97 juta rujukan kasus kesehatan jiwa dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit.
Dengan Jawa Tengah adalah Provinsi yang mencatat jumlah kasus terbanyak hingga 3,5 juta, kemudian disusul oleh Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
Tak hanya itu, BPJS Kesehatan juga mendorong deteksi dini melalui skrining Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) yang dapat diakses publik di situs resmi. Skrining ini dapat membantu masyarakat untuk mengenali apa saja gejala awal gangguan kejiwaan.
"Pendekatan ini merupakan upaya untuk memperkuat promotif dan preventif agar masalah kesehatan jiwa dapat ditangani sejak dini," pungkas Ghufron.
BACA JUGA:Prompt Gemini AI di Berbagai Stadion Sepak Bola, Bikin Foto Keren Tanpa Budget
Selain itu, peserta yang sebelumnya dirawat di rumah sakit dan dinyatakan stabil kini dapat melanjutkan pengobatan di FKTP melalui Program Rujuk Balik (PRB). Hal ini tentu saja akan memudahkan peserta JKN untuk tetap mendapat layanan kesehatan jiwa yang lebih dekat dengan tempat tinggal sekaligus lebih efisien.
Ghufron juga menegaskan, melalui Program JKN ini peserta dapat memiliki akses yang setara terhadap layanan kesehatan jiwa. Sebab, BPJS Kesehatan berkomitmen untuk selalu menyediakan layanan yang mudah, cepat, dan inklusif bagi masyarakat.
Adapun, hal serupa juga disampaikan oleh psikolog klinis Tara de Thouars yang menilai kebijakan ini adalah untuk menjawab kebutuhan mendesak dalam penanganan kesehatan mental.
BACA JUGA:Raya Run 2025 Bakal Diikuti Ribuan Pelari se-Indonesia, Bank Raya Dorong Geliat Ekonomi Digital di Surabaya
Dijelaskan Tara, jika data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan 1 dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan mental, sementara 72,4 persen karyawan yang disurvei juga mengaku menghadapi masalah serupa.
Tak hanya itu, adanya angka percobaan bunuh diri hingga 10 kali lipat dari kasus bunuh diri dalam setiap bulannya.
" Bahkan survei Indonesia National Mental Health yang dilakukan pada tahun 2024 menunjukkan data bahwa sebanyak 39,4 persen remaja mengalami masalah mental dan setiap tahun meningkat 20 hingga 30 persen," terang Tara.
Lantas apa pemicunya? Disampaikan Tara, jika pemicu timbulnya masalah kesehatan mental ini adalah tingkat stres yang tinggi, persaingan ketat di dunia kerja, masalah ekonomi, fear of missing out (fomo) terhadap sesuatu, sandwich generation, hingga tekanan dari media sosial.
BACA JUGA:Kejati Bengkulu Fasilitasi Pemkot, BWSS dan ATR BPN: Upaya Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Kolam Retensi
Namun sayangnya, disesalkan Tara jika stigma negatif masih kuat melekat di masyarakat, di mana orang dengan gangguan jiwa sering dicap sebagai lemah, kurang bersyukur, atau bahkan dianggap aib.
Sehingga stigma inilah yang membuat banyak individu memilih untuk menyembunyikan masalahnya dan enggan mencari pertolongan.
Tara menekankan pnetingnya berhenti menormalisasikan gangguan mental sebagai hal yang wajar. Selain itu juga mengingatkan agar masyarakat tidak memberi stigma negatif kepada pengidap gangguan mental karena dapat membuat mereka enggan mencari pertolongan.
Menurut Tara, yang perlu dinormalisasikan justru adalah upaya untuk mencari bantuan profesional melalui psikolog atau psikiater.
BACA JUGA:Kejati Bengkulu Fasilitasi Pemkot, BWSS dan ATR BPN: Upaya Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Kolam Retensi
Putri Nurhidayati
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


