Tradisi Ekstrem, Lelaki hanya Jadi Pejantan Perempuan Berkuasa, Tak Ada Pernikahan
Tradisi unik suku Mosuo di Lembah Yunan--
NASIONAL, RBTVCAMKOHA.COM - Di bawah kaki pegunungan Himalaya, tepatnya di sebuah lembah di Yunan, Cina hidup sebuah suku purba bernama Mosuo. Meski kolot, suku ini hidup dalam apa yang oleh masyarakat modern disebut cara hidup progresif.
Masyarakat Mosuo hidup dalam tradisi matriarki yang sangat ekstrem. Anak-anak di suku ini tak mengenal konsep tentang ayah atau kakek. Tak ada pernikahan. Tak ada konsep keluarga inti (ayah, ibu dan anak) seperti yang kita kenal.
Bagi masyarakat Mosuo, perempuan adalah yang paling berkuasa. Saat santap malam, nenek atau perempuan tertua dalam satu rumah akan duduk di kepala meja, dikelilingi oleh putri dan putra yang tinggal bersamanya, demikian juga cucu-cucu, anak dari puteri-puterinya.
BACA JUGA:Pengguna Twitter Wajib Tahu, Ada Kebijakan Terbaru Pembatasan Postingan
Di suku yang mayoritas menganut agama Budha Tibet ini, lelaki tak lebih dari pejantan; pendonor sperma, yang bertugas membuahi perempuan. Lelaki tak terlibat dalam membesarkan anak.
Perempuan dalam masyarakat Mosuo setara derajatnya dengan lelaki. Perempuan, demikian juga lelaki, bisa memiliki lebih dari satu pasangan seksual. Tetapi anak-anak dibesarkan dalam rumah yang dipimpin oleh perempuan.
Perempuan dan lelaki di suku yang hidup di sekitar Danau Lugu mempraktekkan apa yang dinamakan "pernikahan berjalan", sebuah konsep hubungan antara kekasih yang dikenal sebagai "axia".
Saat akan berhubungan seks, seorang lelaki akan menggantungkan topinya di depan kamar atau kediaman seorang perempuan. Itu tandanya, tak ada lelaki lain yang diizinkan masuk. Hubungan ini bisa berlangsung lama: mulai dari satu malam hingga ke hubungan seumur hidup.
BACA JUGA:Bicara Soal Kekayaan, Pemilik Tanggal Lahir Ini Seperti Punya Sumur Uang
Tetapi yang perlu diingat, pasangan tidak tinggal dalam satu rumah dan tak ada ritual resmi. Begitu saja.
“Bagi perempuan Mosuo, axia hanyalah cara untuk mencari kesenangan dari kerasnya kehidupan setiap hari, sekaligus juga untuk mencari pendonor sperma,” kata Choo Waihong, penulis buku "The Kingdom of Women" (2017), yang berkisah tentang kehidupan komunitas Mosuo.
Bahkan perempuan Mosuo tak mau berepot-repot mencari tahu siapa ayah dari anak-anak mereka. Tak ada stigma negatif dibebankan kepada mereka akan hal ini.
Selain itu dalam suku Mosuo, perempuan berhak atas harta dan pemilik hak waris. Tak hanya itu, mereka juga menanam benih di sawah atau kebun, mengurus rumah, memasak, membersihkan, dan memelihara anak.
Lelaki membantu dalam pekerjaan-pekerjaan berat, seperti membajak, membangun dan memperbaiki rumah, dan membunuh hewan. Lelaki juga dilibatkan dalam musyawarah keluarga, tetapi keputusan terakhir tetap di tangan nenek atau perempuan tertua di rumah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: