Puluhan Tahun Berjuang Ingin Merdeka, Ini 7 Alasan Papua Ingin Berpisah dari Indonesia
Alasan dari sebagian orang untuk Papua memisahkan diri dari Indonesia--
Sejarah Pembebasan Papua
Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Papua dari kolonisasi Belanda. Militer kita menderita kerugian besar selama berlangsungnya Kampanye Trikora.
Operasi militer bersandi "Jayawijaya" yang Hari H-nya direncanakan pada tanggal 14 Agustus 1962 merupakan pengerahan total kekuatan militer Indonesia yang terdiri dari 70.000 personil gabungan TNI AD/AL/AU, 126 unit kapal perang, dan 102 unit pesawat tempur tanpa kekuatan cadangan sama sekali alias harus berhasil dalam satu kali pukulan untuk mencapai target berkibarnya Sang Saka Merah Putih di Irian Barat sebelum tanggal 17 Agustus 1962.
BACA JUGA:Ganggu Manusia, Seperti Ini Tugas-tugas Jin, Termasuk Membujuk Manusia Hidup Boros
Sampai dengan ditekennya persetujuan gencatan senjata tanggal 15 Agustus 1962 atau empat bulan sejak hari penerjunan pertama, dari jumlah pasukan yang berhasil disusupkan ke daratan Papua dengan cara diterjunkan dari udara dan didaratkan dari laut sebanyak 1.395 orang, 214 orang atau 15,34 persen diantaranya dinyatakan gugur.
Melalui campur tangan PBB, Indonesia akhirnya memegang kendali penuh atas Papua sejak Mei 1963. Sesuai arahan Pasal 17 Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia pada tahun 1969 menggelar Referendum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).
Pelaksanaan Pepera tersebut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Setelah hasil tersebut dibawa ke Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969, PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera dengan mengesahkan Resolusi 2504 di Majelis Umum.
Yang menjadi masalah adalah dugaan bahwa pelaksanaan referendum Pepera ini dimanipulasi oleh pihak Indonesia dan hasilnya tidak fair. Perjanjian New York mengamanatkan bahwa semua laki-laki dan perempuan di Papua yang bukan warga negara asing punya hak memilih dalam Pepera.
Tapi Panglima Kodam Cenderawasih saat itu, Brigadir Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, malah memilih 1.025 laki-laki dan perempuan Melanesia untuk mewakili 800.000an penduduk Papua Barat menentukan sikap di hadapan pengamat PBB. Melalui pengkondisian sebelumnya oleh pihak militer Indonesia, mereka semuanya memilih bergabung dengan Pemerintahan Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya, Indonesia tidak mengurus Papua dengan benar. Hadirnya Freeport yang dalam perjalanannya diiringi dengan catataan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan Indonesia kepada OAP (yang jumlahnya sekarang sekitar 2,8 juta jiwa), membuat OAP semakin merasa terasing.
BACA JUGA:Tak hanya Menyehatkan, Kombucha juga Baik untuk Kecantikan Wajah, Begini Cara Buatnya
Terisolasinya Papua dari daerah-daerah lainnya, serta penduduknya yang memiliki ras yang berbeda dari penduduk di wilayah NKRI lainnya (ras Melanesia), suka atau tidak memupuk identitas "Papua" pada OAP. Selain itu, faktor-faktor lain seperti tidak meratanya kesejahteraan di Indonesia, terutama untuk Papua, juga berpengaruh atas tumbuhnya rasa nasionalisme Papua.
Setiap kali mengunjungi Jayapura dan sekitarnya, pemandangan yang umum saya temukan adalah banyaknya OAP (Orang Asli Papua, jumlahnya sekitar 2,8 juta jiwa dari 3,4 juta jiwa penduduk Provinsi Papua) yang berjualan hasil pertanian secara ala kadarnya di pinggir jalan dan pasar-pasar tradisional.
Berbeda dengan pedagang sayuran di pasar-pasar tradisonal Jawa yang dagangannya "semarak", OAP yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi menggelar dagangannya dengan sangat sederhana seperti pinang, bunga pepaya dan sayur lilin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: