Iklan RBTV

Bengkulu Ditukar dengan Singapura

Bengkulu Ditukar dengan Singapura

--

Pada 1818, Inggris mengangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Bengkulu

Saat menginjakkan kakinya di Bengkulu, kondisi hancur akibat tidak terurus oleh EIC dan diperparah oleh bencana gempa bumi. 


Thomas Stamford Raffles Menata Kembali Kota Bengkulu--

Sebagai letnan gubernur, Raffles harus membangun kembali Bengkulu yang akan  dijadikan sebagai pusat aktivitas EIC di Asia Tenggara.

BACA JUGA:Pelaku Perampokan di Kepahiang Terlacak, Lebih Dua Orang Ada yang Terluka

Untuk mendukung usahanya itu, Raffles mengadakan perjanjian politik dengan beberapa penguasa lokal, antara lain dengan Pangeran Lenggang Alam dari Kerajaan Sungai Lemau pada 4 Juli 1818.

Selain itu, para penguasa lokal yakni Sultan Mukomuko, Pangeran Sungai Lemau, dan Pangeran Sungai Itam dijadikan sebagai pejabat pemerintahan kolonial Inggris. 

BACA JUGA:ASN Benteng Ingat Ini, Sekda Minta Jangan Nambah Libur

Kebijakan lainnya adalah menghapus sistem tanam paksa lada dan mengembalikan  wewenang kepala masyarakat hukum adat sesuai hukum adat sepanjang dapat  dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi Inggris. 

Raffles pun mulai mempromosikan kembali penanaman kopi dalam kurun waktu 1818-1820 sehingga pada 1824 sekitar setengah juta pohon kopi telah tumbuh dengan baik di berbagai distrik di Bengkulu. 

BACA JUGA:Update, Harga Bahan Pokok 1 Januari 2023, Harga Telur Masih Tinggi

Pada akhirnya, Raffles berhasil membangun Kota Bengkulu sebagai pusat aktivitas  politik dan ekonomi. Kota Bengkulu dihuni oleh berbagai etnis, antara lain Melayu,  Eropa, Cina, India, dan Bugis. Raffles pun membuka sekolah dan membangun fasilitas kesehatan. 

Di bawah Raffles, Bengkulu tumbuh sebagai wilayah penting dan menjadi  pelabuhan bebas bagi jalur perdagangan Asia Selatan - Asia Tenggara - Asia Timur (Bastin, 1965; Siddik, 1996).

BACA JUGA:Bapak dan Anak Putuskan Saling Lapor Polisi

Meskipun Inggris menguasai dan berhasil membangun kembali Bengkulu, tetapi  persaingan dagang dengan Belanda di Asia Tenggara tidak pernah mereda. Persaingan tersebut yang kemudian mengantarkan kedua negara duduk di meja perundingan untuk mengamankan kepentingan mereka. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait