Penyebutan (sighat) khuluk juga harus menyebutkan bentuk timbal balik (‘iwadh) yang diketahui nominalnya serta memiliki nilai ekonomi. Seandainya bentuk timbal balik (‘iwadh) tidak diketahui bentuknya (majhul) ataupun berupa barang yang najis seperti arak dan sejenisnya ataupun berupa barang yang tidak dilegalkan dalam syariat Islam maka ditetapkan ukuran mahar mitsl (mahar yang berpatokan kepada mahar kerabat perempuan sang istri) sebagai bentuk timbal balik (‘iwadh).
Selain itu, khuluk yang diajukan oleh istri termasuk akad ju’alah (sayembara) karena penyebutan (sighat) khuluk dari perempuan pada umumnya adalah “seandainya kamu mau menjatuhkan talak kepadaku, niscaya kamu akan mendapatkan harta sekian.” Oleh karena itu, khuluk yang diajukan istri sangat membutuhkan persetujuan dari suami, seandainya suami tidak mau menceraikan maka khuluk tidak dapat berakibat talak. (Al-Juwaini Abdul Malik, Nihayatul Mathlab [Beirut, Darul Minhaj: 2007 M], juz XIII, halaman 328).
BACA JUGA:Mantap! PNS dan PPPK Bisa Naik Pangkat 6 Kali Dalam Setahun, Prosesnya Juga Makin Mudah
3. Istri mengajukan fasakh nikah kepada pengadilan agama
Pada umumnya fasakh nikah adalah istri mengajukan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena suami tidak mampu menafkahi dengan paling sedikitnya nafkah dari harta yang halal.
Misal, suami jatuh miskin hingga tidak mampu menafkahi sedikitpun ataupun suami mampu menafkahi tapi dari pekerjaan yang haram maka istri boleh meminta fasakh nikah kepada hakim.
Menurut Ibnu Shalah, istri juga berhak mengajukan fasakh nikah seandainya suami meninggalkannya dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak memberikan nafkah sedikitpun (Ad-Dimyathi Abu Bakar Syatha, ‘Ianah Ath-Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 1997] juz IV, halaman 97).
Sang istri juga diperbolehkan mengajukan fasakh nikah karena suami memiliki cacat fisik (‘aib) seperti mengalami impoten dan telah menunggu selama satu tahun. Selain itu, fasakh nikah juga dijatuhkan seandainya suami murtad ataupun tidak memenuhi syarat dan rukun dalam akad nikah. (Al-Imrani Abu Husain Yahya, Al-Bayan fi Mazhabil Imamis Syafi’i [KSA: Darul Minhaj, 2000] juz IX, halaman 297).
BACA JUGA:Pahami lalu Kerjakan, Ini Hak dan Kewajiban Seorang Suami serta Istri