“Kenapa bisa begitu?” tanya Abu.
“Saat menuju pusat Kota Baghdad, kita tadi benar-benar kesulitan mencari jalan karen beberapa jalan ditutup gara-gara ratusan orang mau sholat di tanah lapang. Padahal, sebelah lapangan itu ada masjid yang besar. Bukankah ini mirip definisi perbuatan munkar yang Tuan pernah jelaskan?” ucap Abul Augus.
“Saya tak ingin buru-buru mengatakan yang mereka lakukan tadi itu adalah perbuatan munkar. Siapa tahu, mereka memang berniat untuk sholat berjemaah di tempat terbuka,” ujar Abu Nawas.
Dalam hati, Abu sebenarnya merasa senang karena temannya mulai menemukan pintu yang benar menuju Tuhan. Ia makin bersemangat menemani Abul Augus untuk menemukan Tuhan.
Setelah dua hari meninggalkan Kota Baghdad, sampailah mereka di sebuah masjid kecil di pinggir gurun. Saat menambatkan unta di halaman masjid, mereka sadar bila bekal makanan mereka sudah habis.
Lalu, mereka pun bingung apa yang bisa dimakan di kampung kecil di tengah gurun seperti ini. Di tengah kebingungan, tiba-tiba datang sekelompok kafilah masjid itu. Dari baju mereka yang kumal, mereka adalah kaum Badui miskin yang tampaknya tengah melakukan perjalanan jauh dan melelahkan.
Usai menambatkan unta mereka, kepala kafilah itu menghampiri Abu Nawas dan Abul Augusu untuk memberi salam. Setelah berbincang singkat, kepala kafilah itu tahu bila Abu dan Abul sedang kelaparan.
Tanpa basa-basi, kepala kalifah itu memberi mereka makanan mereka. Awalnya, Abu Nawas menolak karena ia melihat makanan itu sebenarnya juga bekal terakhir yang dibawa kalifah itu.