Sedangkan, untuk koteka panjang digunakan dalam acara formal seperti acara adat ataupun acara kebudayaan lainnya.
Dikutip dari warisan budaya Kemendikbud, sejauh ini tidak ada literatur yang menyebutkan sejak kapan suku-suku asli Papua mengenakan koteka.
Namun berdasarkan etimologinya, kata koteka berasal dari salah satu bahasa suku di Paniai artinya pakaian. Kata koteka dalam beberapa suku yang ada di pegunungan berbeda.
Seperti di Paniai menyebutnya Bobee. Lalu di Wamena menyebut koteka sebagai Holim. Kemudian pada masyarakat di Amungme menyebutnya Sanok. Koteka menurut cerita mitos penciptaan manusia di pegunungan tengah, hadir bersamaan dengan kehadiran manusia. Artinya tidak dibawa masuk oleh orang atau suku bangsa lain.
Koteka pada umumnya mengandung nilai-nilai hidup yang baik bagi penggunaannya, seperti nilai kebersamaan, kepemimpinan, kebanggaan, kebesaran, penutup aurat dan sebagainya.
Bagi pria berwibawa dan tokoh masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Biasanya orang Papua memakai koteka sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah tajam ke alam bebas.
Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantung besar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya aksesoris bagi si pemakai. Tubuh yang kekar bagi seorang pria berkoteka merupakan idaman perempuan suku Pegunungan Tengah seperti Suku Dani.
Ada dua ukuran koteka yakni holim kecil (halus) dan holim pendek besar. Jenis koteka kecil terdapat di daerah lembah Baliem, terutama di Kecamatan Wamena Kota, Kecamatan Asologaima dan Kecamatan Kurulu. Ukuran bagian bawahnya sedang dan atasnya runcing.
Kadang-kadang bagian ujungnya diberi hiasan bulu burung atau bulu ayam hutan. Hiasan itu untuk menimbulkan daya tarik bagi kaum perempuan. Jenis holim ini halus, berwarna kuning kemerah-merahan. Sebagian masyarakat Dani mengenakan koteka yang ukurannya pendek dan besar.
Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus menandakan pemakainya pria sejati. Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka.
Kemudian miring ke samping kanan artinya simbol kejantanan, bermakna penggunanya pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau kedudukan.
Kemudian koteka miring ke samping kiri bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur).
Koteka juga diperbolehkan bagi orang non-Papua dan tidak ada larangan. Sebab koteka salah satu budaya yang sudah sepatutnya dilestarikan, baik oleh orang asli Papua maupun non-Papua.
Demikian informasinya.(tim)