“Perubahan iklim juga menyebabkan sulitnya menentukan waktu tanam karena terjadi pergeseran waktu awal dan puncak musim hujan. FAO memproyeksikan penurunan produksi padi di Indonesia 1,13-1,89 juta ton sehingga akan menurunkan pendapatan petani 9-25%," katanya.
Suharso mengatakan, siklus El Nino berdampak pada cuaca di seluruh dunia. Siklus ini semestinya terjadi tiap 3-7 tahun sekali, sekarang malah menjadi lebih singkat menjadi 2-5 tahun sekali.
Fenomena ini menyebabkan pasokan air bersih semakin berkurang dan berpotensi menimbulkan konflik alokasi air, terutama untuk daerah yang bertumpuk antara sektor pertanian, industri, dan energi.
“Ibu Kepala BMKG memberikan imbauan pada 2023 fenomena El Nino ini berlangsung cukup panjang hingga akhir Desember. Kita perlu mitigasi dampaknya terhadap kelangkaan air, kebakaran hutan, dan produktivitas pangan," ujarnya.
BACA JUGA:El Nino 2023, 6 Wilayah Ini Rawan Kekeringan, Waspada Juga Penyakit DBD, Kolera dan Diare
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, kondisi ini tak hanya menimpa Indonesia tetapi juga secara global. Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksikan, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Krisis air berkaitan dengan kerentanan ketahanan pangan. Diprediksi pada 2050-an sudah terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia. Itu melanda hampir semua negara, termasuk Indonesia," katanya, dalam kesempatan yang sama.
"Kita mau impor beras dari mana? Semuanya lebih parah dari Indonesia," tambahnya.
Adapun di Indonesia sendiri, ia memproyeksikan Nusa Tenggara Timur (NTT), Aceh, hingga Sulawesi Utara menjadi wilayah super prioritas yang akan terdampak besar. Ditambah lagi, dengan kawasan-kawasan lainnya yang berlokasi di sepanjang garis khatulistiwa.
Demikian. (tim)