Kebakaran hutan yang melanda sejumlah kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu memang terkait dengan El Nino. Lantaran curah hujan amat minim dan kondisi udara kering, api menjadi mudah tersulut dan merambat serta sulit dikendalikan.
Kekeringan dan kemarau panjang saat itu juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanamanan, menurut Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sebuah studi di Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi mengungkapkan hasil analisis Standarized Precipitation Indeks (SPI) menunjukkan fenomena El Nino saat itu memicu kekeringan dengan intensitas sangat tinggi (ekstrem kering).
SPI merupakan indeks probabilitas dari data curah hujan di mana indeks negatif menunjukkan kondisi kering sedang indeks positif untuk kondisi basah.
Dalam jurnal tersebut, para peneliti mengungkapkan pada tahun 1997 terjadi El Nino kuat dengan nilai SPI 3, 6 dan 12 pada bulan Agustus, September dan Oktober menunjukkan nilai SPI kurang dari -3. Artinya fenomena El Nino 1997 menyebabkan musim kering ekstrem-kering sepanjang tahun.
Para peneliti mengungkap El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang terjadi secara bersamaan pada tahun 1997/1998 mengakibatkan panjangnya musim kemarau di tahun tersebut.
Sepanjang 1997 hanya tiga bulan yang mempunyai curah hujan sedikit di atas normal, sisa bulan yang lain mempunyai curah hujan di bawah normal.
“Anomali positif suhu permukaan laut Samudera Pasifik (El Nino) dan Samudera Hindia (IOD+) yang terjadi secara bersamaan pada tahun 1997/1998, telah menyebabkan kemarau sangat panjang di tahun tersebut," kata peneliti.
"Tingginya intensitas kekeringan pada tahun 1997/1998 ditunjukkan dengan nilai SPI 3 (defisit 3 bulan), 6 (defisit 6 bulan) dan 12 (defisit 12 bulan) berkisar antara -1,5 sampai -3,9 yang berarti telah terjadi kondisi kering sampai sangat kering (ekstrim kering) pada tahun itu," lanjut peneliti.
Di Bengkulu Sudah 600 Haktere Sawah Kering
Dampak kemarau Panjang tahun 2023 ini, dari 41.000 hektare area persawahan di Bengkulu, seluas 600 hektare diantaranya mengalami kekeringan.
Bahkan ada 3 kabupaten yang telah melaporkan situasi darurat kekeringan atau zona merah.
Provinsi Bengkulu saat ini menghadapi masalah serius, akibat kemarau yang berkepanjangan terutama di masa tanam padi yang sangat membutuhkan air.
Data Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Provinsi Bengkulu, hingga saat ini, hanya tiga kabupaten di Provinsi Bengkulu yang telah melaporkan situasi darurat kekeringan atau zona merah.