Untuk memastikan apakah jenazah itu Tengku Di Cot Plieng atau bukan, Belanda memanggil Panglima Polem.
Di hadapan Sang Mayat, Panglima Polem menabik, lalu bersujud, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada pemilik jenazah.
BACA JUGA:Pinjaman Online untuk Biaya Pendidikan di BCA, Limit Pinjaman Sampai Rp100 Juta, Simak Prosedurnya
Panglima Polem melepas azimat 'rante bui' yang ada di tubuh Tengku Di Cot Plieng. Dia lalu menyerahkan azimat itu kepada G.C.E van Daalen, namun, gubernur militer itu menolak, karena tak percaya dengan hal mistis.
Kisah mengenai Tengku Di Cot Plieng dan azimat 'rante bui' miliknya ditulis H.C. Zentgraff dalam bukunya berjudul 'Aceh'.
Konon, perjalanan azimat Tengku Di Cot Plieng berakhir di sebuah museum yang ada di Belanda.
“Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang, hal itu merupakan rahasia Tuhan,” tulis mantan redaktur Java Bode itu, perihal keanehan tubuh Tengku Di Cot Plieng yang tidak membusuk.
BACA JUGA:AWAS TERJEBAK, Begini Konsep Pinjol Ilegal Sebar Data dan Rusak Nama Baik Nasabah
Di kemudian hari, foto azimat 'rante bui' milik Tengku Di Cot Plieng diabadikan dalam buku 'Perang di Jalan Allah' karya Alfian Ibrahim, sejarawan, juga eks Dekan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Buku setebal 282 halaman gubahan Sang Profesor terbit pada 1987.