INTERNASIONAL, RBTVCAMKOHA.COM - Nick Yarris menghabiskan lebih dari dua dasawarsa di daftar eksekusi mati di Amerika Serikat, sebelum kemudian terbukti melalui tes DNA, bahwa ia tak bersalah.
"Saya sepenuhnya yakin bahwa penantian selama 22 tahun itu akhirnya akan menyelamatkan hidup saya. Ini adalah petualangan terbesar dalam hidup saya, dan saya bisa melewatinya dengan selamat."
Nick Yarris tidak pernah mendapat permintaan maaf untuk pemenjaraan atas kejahatan yang tidak dilakukannya.
Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya selama di penjara dengan mendekam di sel isolasi, terkadang ia dipukuli habis-habisan oleh para sipir penjara, bahkan dalam suatu kesempatan retina matanya sobek.
BACA JUGA:Saran Feng Shui Jangan Ada Foto Keluarga di Kamar Tidur, Ini 7 Barang Dilarang Ada di Kamar
"Hal yang paling sulit adalah bagaimana tetap menjadi manusia baik, saat mereka menyakiti kita," tuturnya kepada program Victoria Derbyshire.
Saat menanti hukuman mati, ia belajar sendiri tentang hukum, dan kadang-kadang ia membaca sampai tiga buku dalam sehari.
"Tujuan utama saya belajar adalah agar saya bisa memberikan pernyataan dengan lancar sebelum eksekusi," ujarnya.
Selama 22 tahun dari 23 tahun waktunya di penjara, Nick betul-betul yakin bahwa ia akan dieksekusi.
Kini, Nick telah menuangkan pengalaman hidupnya ke dalam sebuah buku yang berjudul "The Fear of 13", atau "Ketakutan pada 13," karena ia percaya bahwa hal-hal buruk yang menimpanya terjadi sekitar tanggal 13.
"Saya tidak keberatan dikurung selama 23 jam sehari pada sebagian besar waktu saya, karena setelah beberapa tahun pertama di penjara, saya berhenti untuk marah dan mulai menyukai diri sendiri dan memahami diri saya sendiri, dan itu baik. Saya terkadang masih menikmati kesendirian saya."
"Saya tidak pernah mendapat bantuan psikiater sejak meninggalkan penjara. Saya belajar tentang psikologi di sana dan menerapkannya pada diri saya sendiri."
BACA JUGA:Panduan Lengkap Cara Pengajuan Kredit Rumah Bekas DP Nol Rupiah ke Bank, Serta 5 Bank Penyedia KPR
Nick dibesarkan di pinggiran kota Philadelphia bersama orang tua dan lima saudara kandungnya, tapi masa kecilnya yang bahagia itu hancur. Ketika berusia tujuh tahun, ia diserang oleh seorang anak remaja yang memukul kepalanya begitu keras dan menyebabkan kerusakan otak. Dan remaja itu lalu memperkosanya. Namun ia tidak memberitahu orang tuanya.
Trauma penyerangan ini mempengaruhi perilakunya, dan kala ia beranjak dewasa, ia mulai menenggak alkohol dan mengkonsumsi narkoba. Ia ditangkap saat berusia 20 tahun, setelah dituding berupaya melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap seorang perwira polisi. Namun ia dibebaskan dari tuduhan tersebut.