Kedua zona ini sudah lama tidak mengalami gempa besar, yang dikenal dengan istilah seismic gap, yang artinya akumulasi energi di sana sudah mencapai titik kritis dan hanya tinggal menunggu waktu untuk melepaskannya dalam bentuk gempa besar.
Menurut Daryono, gempa di dua segmen megathrust ini bisa memiliki kekuatan yang sangat besar, dengan Megathrust Selat Sunda diperkirakan dapat mencapai magnitudo 8,7 dan Megathrust Mentawai-Siberut hingga magnitudo 8,9.
Dampak dari gempa sebesar ini tentu akan sangat dahsyat, baik dari segi kerusakan infrastruktur maupun korban jiwa.
Langkah-Langkah Mitigasi yang Dilakukan BMKG
Untuk menghadapi potensi bencana ini, BMKG telah melakukan berbagai langkah antisipasi. Pertama, BMKG telah memasang sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang menghadap langsung ke zona-zona megathrust.
BACA JUGA:Ada 1.336 Formasi CPNS 2024 di Kementerian ATR/BPN, Intip Besaran Gaji yang Diterima Per Bulan
Sistem ini dirancang untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat jika terjadi gempa megathrust yang berpotensi menimbulkan tsunami. Keberadaan sistem ini sangat penting dalam mengurangi jumlah korban jiwa, karena waktu evakuasi yang diberikan lebih cepat.
Selain itu, BMKG juga gencar melakukan edukasi kepada masyarakat, baik di tingkat lokal maupun internasional. Misalnya, BMKG bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyiapkan berbagai infrastruktur mitigasi seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan shelter tsunami.
Edukasi ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga melalui kolaborasi internasional dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang bertujuan untuk mengedukasi 25 negara di sekitar Samudra Hindia tentang kesiapsiagaan menghadapi gempa dan tsunami.
Tantangan dalam Implementasi Mitigasi
Namun, upaya mitigasi ini tidak bisa dilakukan BMKG sendirian. Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan kewenangan BMKG yang lebih berfokus pada teknologi dan sistem peringatan dini.
Pelaksanaan mitigasi di lapangan, seperti pemeliharaan sirine peringatan tsunami dan penyiapan jalur evakuasi, sangat bergantung pada pemerintah daerah karena adanya otonomi daerah. Sayangnya, pemeliharaan ini sering kali tidak optimal.
Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa ada banyak masalah di lapangan yang terkait dengan otonomi daerah.
Contohnya, jalur evakuasi yang telah disiapkan sering kali tidak dipelihara dengan baik dan bahkan kadang-kadang digunakan untuk keperluan lain seperti membangun warung atau WC umum.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena dalam situasi darurat, jalur evakuasi yang terganggu bisa berakibat fatal bagi keselamatan masyarakat.