Hindari Pembangunan di Kawasan Rawan Tsunami
Pembangunan di dekat pantai juga harus mempertimbangkan apakah ada sejarah terjadinya tsunami di kawasan tersebut.
Jika ada catatan bahwa suatu pantai pernah terkena tsunami, maka sebaiknya bangunan, pemukiman, atau infrastruktur penting tidak dibangun terlalu dekat dengan bibir pantai.
Sebagai langkah pencegahan, sebaiknya pembangunan dilakukan pada jarak 300 hingga 500 meter dari pantai untuk mengurangi risiko terkena dampak tsunami.
Langkah ini mungkin terdengar sederhana, tetapi dapat menyelamatkan banyak nyawa jika tsunami benar-benar terjadi.
Mengingat Indonesia memiliki banyak garis pantai dan beberapa di antaranya sudah diketahui rawan tsunami, langkah pencegahan ini sangat penting untuk diperhatikan.
Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama dengan membangun di kawasan rawan bencana tanpa memperhatikan mitigasi yang tepat.
Gempa Megathrust dan Sesar Aktif: Mana yang Lebih Berbahaya?
Memang, gempa megathrust sering kali menjadi perhatian utama karena potensi kerusakannya yang sangat besar.
Namun, bukan berarti kita bisa mengabaikan gempa sesar aktif. Kedua jenis gempa ini memiliki karakteristik yang berbeda dan membutuhkan pendekatan mitigasi yang berbeda pula.
Gempa megathrust biasanya terjadi di zona subduksi, yaitu tempat pertemuan dua lempeng tektonik. Gempa ini bisa memicu tsunami yang dahsyat dan menimbulkan kerusakan yang meluas.
BACA JUGA:Bandingkan Spesifikasi dan Harga Redmi 12 vs Oppo A3x, Kamu Lebih Suka yang Mana?
Namun, gempa sesar aktif, meskipun mungkin tidak memicu tsunami, sering kali terjadi di daratan dan dekat dengan permukiman penduduk.
Akibatnya, gempa ini bisa sangat merusak, terutama jika bangunan di sekitarnya tidak didesain untuk tahan gempa. Oleh karena itu, masyarakat perlu waspada terhadap kedua jenis gempa ini dan tidak boleh mengabaikan salah satunya.
Indonesia, sebagai negara yang rawan gempa, harus selalu siap menghadapi berbagai ancaman seismik, baik itu gempa megathrust maupun gempa akibat sesar aktif.