Guru Besar Ekologi Manusia Unib Identifikasi 19 "Celako Kemali" Suku Serawai dalam Adaptasi Perubahan Iklim
Panji Suminar saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar bidang ekologi manusia--
BENGKULU, RBTVDISWAY.ID - Guru Besar Ekologi Manusia, Universitas Bengkulu, Prof. Panji Suminar, menyebutkan terdapat 19 kearifan lokal Suku Serawai di Bengkulu yang dapat dijadikan dasar pengetahuan modern dalam adaptasi perubahan iklim.
Hal ini dikemukakan Panji Suminar dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar bidang ekologi manusia, berjudul: “Menjaga Bumi, Merawat Pengetahuan: Transformasi Epistemologi Ekologi dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Orasi disampaikan di Universitas Bengkulu, Selasa (30/9).
"Krisis ekologis menempatkan kita pada titik balik peradaban. Kerusakan hutan, kerusakan lahan, pencemaran air, dan punahnya keanekaragaman hayati adalah gejala dari kegagalan pembangunan yang menyampingkan kearifan local," ujar Prof. Panji Suminar dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar bidang ekologi manusia di Universitas Bengkulu, Selasa (30/9).
BACA JUGA:Tabel Angsuran SPinjam Rp 15 Juta, Segini Total yang Dibayar untuk Tenor 2 hingga 12 Bulan
Fenomena ini bukan hanya masalah teknis atau lingkungan, tetapi juga krisis etika dan peradaban. Dalam konteks ini, indigenous ecological knowledge (IEK) atau pengetahuan lokal masyarakat adat muncul bukan sebagai warisan masa lalu semata, tetapi sebagai sumber daya pengetahuan yang relevan dalam mendesain masa depan lingkungan yang berkelanjutan.
Menurutnya, 19 bentuk kearifan local Suku Serawai itu berhasil ia identifikasi dinamakan "Celako Kemali". Celako Kemali merupakan sistem norma dan nilai yang menjadi pedoman dalam praktik pertanian dan perkebunan pada Etnis Serawai. Sistem ini di dalamnya menyangkut tabu dan larangan yang dibagi ke dalam bentuk sanksi.
"Dari 19 celako kemali itu, tiga celako kemali telah punah karena situasi luasan lahan. lima masih digunakan tetapi termodifikasi dan 11 masih diterapkan sepenuhnya," kata Panji Suminar.
Tiga celako kemali punah, ia identifikasi yakni, "Kijang Ngulang Tai" yang artinya petani hanya dibolehkan mengelola tanah pertanian hanya satu tahun sekali. Ini dilakukan agar tanah setelah dimanfaatkan dapat Kembali subur.
"Namun kemali ini punah karena terbatasnya lahan garapan dan mulai padatnya penduduk," jelasnya.
BACA JUGA:BCA Buka Program Magang Bakti untuk Lulusan SMA/SMK hingga S1, Ayo Daftar di Sini
"Sepenetaan akaqh kayu atau sepenggorengan arang", ini mengartikan; Dilarang menebang pohon di lereng bukit, sementara di lembah terdapat persawahan.
"Umo tekeno tana tigo atau bukit tiga gunung sembilan", mengartikan; Tidak diperbolehkan membuka hutan di lembah yang dikelilingi tiga bukit untuk kegiatan pertanian.
Selanjutnya lima celako kemali yang masih digunakan namun dimodifikasi yakni, "Manggang tetugu", mengartikan; tidak diperbolehkan menebang hutan yang berbatasan dengan tanah angker.
"Tana penyakitan atau tana angker", mengartikan; tidak boleh membuka lahan pertanian di daerah yang merupakan tempat tinggal roh leluhur.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


