Iklan RBTV Dalam Berita

Pesan untuk Debt Collector, Menagih Utang saat Orang Tidak Punya Uang Katanya Hukumnya Haram

Pesan untuk Debt Collector, Menagih Utang saat Orang Tidak Punya Uang Katanya Hukumnya Haram

Haram hukumnya menagih utang kepada orang yang sedang tidak punya uang--

Perintah untuk tidak menagih utang pada orang yang berada dalam keadaan tidak mampu, juga sesuai dengan firman Allah subhanahu wa Ta’ala:

 وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 280). 

BACA JUGA:Kata Siapa Aman? Ini Bahaya Botol Mineral jika Digunakan Berulang, Bisa Terinfeksi Bakteri

Ulama Tafsir kenamaan, Syekh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menjelaskan perincian hukum yang berkaitan dengan ayat di atas dengan begitu jelas, simak penjelasan beliau dalam referensi berikut:

 إذا علم الإنسان أن غريمه معسر حرم عليه حبسه ، وأن يطالبه بما له عليه ، فوجب الإنظار إلى وقت اليسار ، فأما إن كانت له ريبة في إعساره فيجوز له أن يحبسه إلى وقت ظهور الإعسار، واعلم أنه إذا ادعى الإعسار وكذبه للغريم ، فهذا الدين الذي لزمه إما أن يكون عن عوض حصل له كالبيع والقرض ، أو لا يكون كذلك ، وفي القسم الأول لا بد من إقامة شاهدين عدلين على أن ذلك العوض قد هلك ، وفي القسم الثاني وهو أن يثبت الدين عليه لا بعوض ، مثل إتلاف أو صداق أو ضمان ، كان القول قوله وعلى الغرماء البينة لأن الأصل هو الفقر  

“Ketika seseorang mengetahui bahwa orang yang ia beri utang dalam keadaan tidak mampu, maka haram baginya untuk menahannya (agar tidak kabur) dan haram pula menagih utang yang menjadi tanggungannya. Maka wajib untuk menunggu sampai ia mampu membayar. Jika ia masih ragu tentang ketidakmampuan orang tersebut untuk membayar utang, maka boleh untuk menahannya sampai telah jelas bahwa ia benar-benar tidak mampu. Jika orang yang berutang mengaku dalam keadaan tidak mampu, namun orang yang memberi utang tidak mempercayainya, maka dalam keadaan demikian terdapat dua perincian: Jika utangnya berupa harta yang diserahkan padanya, seperti akad penjualan (yang belum dibayar) atau akad utang (qardl), maka wajib bagi orang yang utang untuk membuktikan dengan dua orang saksi bahwa harta yang diserahkan padanya telah tiada.  

BACA JUGA:Waspada! Jangan Isi Ulang Botol Plastik, Bisa Picu Kanker Payudara Hingga Gangguan Janin

Sedangkan jika utangnya berupa harta yang tidak diserahkan padanya, seperti ia telah merusak harta orang lain dan berkewajiban untuk mengganti rugi atau ia utang pembayaran mahar nikah, maka ucapan dari orang yang memiliki tanggungan dalam hal ini secara langsung dapat dibenarkan, sedangkan bagi orang yang memiliki hak harus menyertakan bukti yang mementahkan pengakuan orang yang memiliki tanggungan tadi, hal ini dikarenakan hukum asal dari orang yang memiliki tanggungan berada dalam keadaan tidak mampu,” (Syekh Fakruddin ar-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 4, hal. 44). 

Dalam menagih utang, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan sopan, tidak dengan nada mengancam, apalagi sampai menuntut dibayar dengan nominal yang lebih, sebab hal tersebut merupakan tradisi buruk masyarakat jahiliyah Arab di zaman dahulu (Ibnu Katsir, Tafsir ibn Katsir, juz1, hal. 717). 

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menagih utang merupakan hak yang diberikan oleh syariat kepada orang yang memberi utang. Penagihan utang ini tidak terpaku pada waktu jatuh tempo pembayaran utang saja, sebab pensyaratan penetapan waktu tempo pembayaran utang ini hanya dibenarkan menurut mazhab malikiyah saja. 

BACA JUGA:Sering Diremehkan, Ini Bahaya Penggunaan Botol Air Mineral Berulang, Bisa Picu Kanker

Sedangkan menurut mayoritas ulama, menagih utang dapat dilakukan kapan pun selama orang yang diberi utang (muqtarid) berada dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk dibuat membayar utangnya.  

Sedangkan dalam praktiknya, hendaknya menagih utang dilakukan dengan sopan serta mempertimbangkan etika sosial yang berlaku. Hal ini dilakukan tak lain agar hubungan antara orang yang memberi utang dan orang yang berutang tetap harmonis tanpa adanya pihak yang tersakiti, terlebih sampai memutus hubungan sosial yang sebelumnya berjalan dengan baik. Wallahu a’lam.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: