Ekoteologi dan Krisis Lingkungan: Refleksi Sosial atas Banjir dan Longsor di Sumatera
Samsuddin (Guru Besar Sosiologi Agama, UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu)--
Oleh: Samsuddin (Guru Besar Sosiologi Agama, UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu)
Banjir dan tanah longsor yang akhir- akhir ini terus berulang terjadi di berbagai wilayah Sumatera bukan hanya sekadar peristiwa alam, melainkan cermin dari krisis ekologis dan sosial yang lebih dalam. Dalam perspektif Islam, bencana lingkungan tidak dapat dilepaskan dari cara manusia memperlakukan alam. Di sinilah ekoteologi Islam menawarkan kerangka etis untuk membaca realitas bencana secara lebih utuh.
Agama Islam senantiasa memandang manusia sebagai "khalifah fi al-ardh". Status ini bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi alam, melainkan amanah untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ciptaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan mizan (keseimbangan), dan manusia dilarang merusaknya.
Dalam konteks Sumatera, kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang masif, serta aktivitas ekonomi yang mengabaikan daya dukung lingkungan menunjukkan pengingkaran terhadap amanah tersebut. Ketika sebagian besar hutan dibabat sehingga daerah resapan air hilang, banjir dan longsor menjadi konsekuensi ekologis yang tak terelakkan.
Bencana sebagai Dampak Ketimpangan Sosial-Ekologis
Ekoteologi Islam tidak melihat bencana semata sebagai “hukuman Tuhan”, tetapi sebagai akibat dari rusaknya relasi manusia dengan alam dan sesamanya. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah tangan manusia. Ayat tersebut relevan untuk membaca situasi di mana keuntungan ekonomi segelintir pihak dibayar mahal oleh penderitaan masyarakat luas.
Korban utama banjir dan longsor di Sumatera umumnya adalah masyarakat kelas menengah kebawah, petani kecil, dan komunitas adat. Mereka tinggal di wilayah rentan, kehilangan rumah dan mata pencaharian, serta minim perlindungan. Dalam perspektif keadilan sosial Islam, kondisi ini merupakan bentuk kezaliman struktural yang bertentangan dengan prinsip ‘adl (keadilan) dan maslahah (kemaslahatan umum).
Agama Islam tidak memisahkan ibadah ritual dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, karena berkaitan langsung dengan perlindungan kehidupan (hifz al-nafs) dan kelangsungan generasi (hifz al-nasl). Bahkan, merusak alam berarti merusak sumber kehidupan umat manusia sendiri.
Dalam tradisi Islam, menanam pohon, menjaga air, dan tidak berlebih-lebihan (israf) dipandang sebagai amal kebajikan. Jika prinsip-prinsip ini dijadikan landasan dalam kebijakan pembangunan dan perilaku sehari-hari, maka risiko bencana ekologis dapat ditekan secara signifikan. Sehingga disini peran agama dan umat dalam krisis lingkungan
sebagai wilayah dengan tingkat heterogenitas yang cukup beragam, Sumatera memiliki potensi besar untuk menggerakkan kesadaran ekologis berbasis agama. Selanjutnya peran Masjid, pesantren, dan organisasi keagamaan dapat dimaksimalkan menjadi pusat edukasi lingkungan. Dakwah dan khutbah Jumat tidak hanya berbicara soal ibadah personal, tetapi juga tanggung jawab kolektif dalam menjaga bumi (Nasaruddin Umar, 2024).
Ekoteologi Islam mendorong umat untuk bersikap kritis terhadap model pembangunan yang merusak, serta aktif membela kelompok rentan yang menjadi korban krisis lingkungan. Dengan demikian, Islam hadir sebagai kekuatan moral yang membela kehidupan, bukan sekadar narasi simbolik. Banjir dan longsor di Sumatera seharusnya menjadi momentum untuk membangun kesalehan baru, yakni kesalehan ekologis. Kesalehan ini tidak hanya diukur dari ritual keagamaan, tetapi juga dari sejauh mana manusia mampu menjaga keseimbangan alam dan menegakkan keadilan sosial. Dalam perspektif ekoteologi Islam, merawat bumi adalah bagian dari iman (Deklarasi Istiqlal, 2024). Tanpa perubahan cara pandang terhadap alam, bencana akan terus berulang dan penderitaan akan semakin meluas. Sudah saatnya iman diterjemahkan menjadi tindakan nyata untuk menjaga kehidupan bersama di bumi Indonesia dan umumnya dilakukan secara global.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


