BACA JUGA:Ganggu Manusia, Seperti Ini Tugas-tugas Jin, Termasuk Membujuk Manusia Hidup Boros
Sampai dengan ditekennya persetujuan gencatan senjata tanggal 15 Agustus 1962 atau empat bulan sejak hari penerjunan pertama, dari jumlah pasukan yang berhasil disusupkan ke daratan Papua dengan cara diterjunkan dari udara dan didaratkan dari laut sebanyak 1.395 orang, 214 orang atau 15,34 persen diantaranya dinyatakan gugur.
Melalui campur tangan PBB, Indonesia akhirnya memegang kendali penuh atas Papua sejak Mei 1963. Sesuai arahan Pasal 17 Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia pada tahun 1969 menggelar Referendum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).
Pelaksanaan Pepera tersebut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Setelah hasil tersebut dibawa ke Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969, PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera dengan mengesahkan Resolusi 2504 di Majelis Umum.
Yang menjadi masalah adalah dugaan bahwa pelaksanaan referendum Pepera ini dimanipulasi oleh pihak Indonesia dan hasilnya tidak fair. Perjanjian New York mengamanatkan bahwa semua laki-laki dan perempuan di Papua yang bukan warga negara asing punya hak memilih dalam Pepera.
Tapi Panglima Kodam Cenderawasih saat itu, Brigadir Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, malah memilih 1.025 laki-laki dan perempuan Melanesia untuk mewakili 800.000an penduduk Papua Barat menentukan sikap di hadapan pengamat PBB. Melalui pengkondisian sebelumnya oleh pihak militer Indonesia, mereka semuanya memilih bergabung dengan Pemerintahan Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya, Indonesia tidak mengurus Papua dengan benar. Hadirnya Freeport yang dalam perjalanannya diiringi dengan catataan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan Indonesia kepada OAP (yang jumlahnya sekarang sekitar 2,8 juta jiwa), membuat OAP semakin merasa terasing.
BACA JUGA:Tak hanya Menyehatkan, Kombucha juga Baik untuk Kecantikan Wajah, Begini Cara Buatnya
Terisolasinya Papua dari daerah-daerah lainnya, serta penduduknya yang memiliki ras yang berbeda dari penduduk di wilayah NKRI lainnya (ras Melanesia), suka atau tidak memupuk identitas "Papua" pada OAP. Selain itu, faktor-faktor lain seperti tidak meratanya kesejahteraan di Indonesia, terutama untuk Papua, juga berpengaruh atas tumbuhnya rasa nasionalisme Papua.
Setiap kali mengunjungi Jayapura dan sekitarnya, pemandangan yang umum saya temukan adalah banyaknya OAP (Orang Asli Papua, jumlahnya sekitar 2,8 juta jiwa dari 3,4 juta jiwa penduduk Provinsi Papua) yang berjualan hasil pertanian secara ala kadarnya di pinggir jalan dan pasar-pasar tradisional.
Berbeda dengan pedagang sayuran di pasar-pasar tradisonal Jawa yang dagangannya "semarak", OAP yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi menggelar dagangannya dengan sangat sederhana seperti pinang, bunga pepaya dan sayur lilin.
Satu tumpuk pinang di Abepura misalnya dijual dengan harga Rp10.000 sementara volume barang dagangannya hanya 10-20 tumpuk saja. Tidak banyak pendapatan yang mereka peroleh dari hasil berjualan hasil bumi seperti itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua pernah menyebut jumlah penduduk miskin di Papua mengalami penurunan sebesar 0,98%, yaitu dari 27,53% pada Maret 2019 menjadi 26,55% pada September 2019. Jumlah penduduk miskin pada periode tersebut menurun dari 920.520 jiwa pada Maret 2012 menjadi 900.950 jiwa pada September 2019. Penduduk miskin di Papua terkonsentrasi di daerah pedesaan, dimana pada September 2019 terdapat 857.020 jiwa atau 35,36% penduduk miskin tinggal di pedesaan, sedangkan di perkotaan hanya sebesar 43.930 jiwa atau 4,53%.
BACA JUGA:Sejak Dalam Rahim Ibu, Manusia Sudah Diawasi 4 Malaikat, Begini Tugas Keempat Malaikat Itu
Lalu bagaimana membuat OAP merasa menjadi bagian dari NKRI? Selain membereskan isu OPM/KKSB/TPNPB, permasalahan fundamental bahwa OAP merasa "berbeda" dengan ras Melayu Indonesia kebanyakan juga harus diselesaikan. (tim)