Bila tidak ada perempuan, suami, atau laki-laki mahram, maka merujuk pendapat al-Ashah dalam mazhab Syafi’i maka jenazah perempuan tersebut tidak dimandikan, namun ditayamumi sebagai ganti dari memandikannya;
sementara menurut pendapat muqabilul ashah jenazah perempuan tersebut tetap dimandikan dengan lebih hati-hati untuk menjaga kehormatannya, yaitu dengan cara sebagai berikut:
(1) Jenazah perempuan tetap tertutup rapat dengan bajunya;
(2) Laki-laki yang memandikannya menggunakan alas tangan, tidak menyentuh jenazah secara langsung; dan
(3) Optimal dalam menjaga pandangannya, hanya boleh memandang jenazah dalam kondisi darurat atau seperlunya. (Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarah Al-Mahalli dicetak bersama Hâsyiyatâni Qulyûbi wa ‘Umairah, [Singapura-Jedah-Indonesia: Al-Haramain], juz I, halaman 379-380).
BACA JUGA:Muslim Harus Tahu, Ini Doa Menguburkan Jenazah, Pahami juga Adab Mengiringi Jenazah Menuju Pemakaman
Mengafani Jenazah Perempuan
Dalam mengafani jenazah perempuan, ada tiga level sebagimana berikut:
(1) Batas minimal kafan bagi jenazah perempuan adalah kain yang menutupi seluruh tubuh;
(2) Tiga lapis kain yang masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh;
(3) Paling sempurna adalah lima lapis kain, yang terdiri dari (a dan b) dua lapis kain yang masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh, (c) izâr yaitu kain yang menutup bagian tengan tubuh dari pusar hingga lutut, (d) gamis, dan (e) kerudung yang menutup kepala. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bâjuri, juz I, halaman 248-249).
BACA JUGA:Panduan Lengkap Cara dan Doa Sholat Jenazah Perempuan
Menshalati Jenazah Perempuan Siapa saja boleh menyolati jenazah perempuan, baik laki-laki apalagi perempuan.
Namun ada beberapa detail yang perlu diperhatikan sebagaimana berikut:
(1) Niat dan doa-doa di dalam shalat jenazah semestinya disesuaikan dengan jenis kelamin jenazah, yaitu perempuan. Semisal pelafalan niat menjadi: Ushalli ‘ala hâdzihil mayyitati ar-ba’a takbirâtin fardhal kifâyati lillâhi ta’âla … Demikian pula pelafalan doa menjadi: Allâummaghfirlahâ war hamhâ wa ‘âfihâ wa’fu ‘anhâ …
(2) Imam atau orang yang shalat jenazah sendirian (munfarid), berdiri tepat di arah pantat jenazah. (Sulaiman bin Umar al-‘Ajili, Hâsyiyatul Jamâl, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman 188).