Dibawah Naungan Khodam Eyang Semar, 8 Weton Ini akan Berjaya Malam 1 Suro 2024
8 Weton Ini akan Berjaya Malam 1 Suro 2024--
Sementara menurut catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Pada 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram dan menetapkan 1 Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.
Pada saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah.
Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.
BACA JUGA:Arti Malam 1 Suro Bagi Umat Islam yang Mendapat Julukan Al Asyhur Al Hurum
Hal tersebut bermaksud bahwa Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya. Selain untuk menggempur Belanda di Batavia, hal itu juga bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa. Maka dari itu, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.
Penyatuan kalender tersebut pun dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah.
BACA JUGA:Mengenal Weton Tulang Wangi 1 Suro Berdasarkan Perhitungan Kalender Jawa
Sementara itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Untuk itu, pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.
BACA JUGA:Mitos Malam 1 Suro yang Diyakini Masyarakat Jawa, Dilarang Keluar Rumah hingga Menikah
Dengan demikian, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga turut dikeramatkan. Bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya.
Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: