Penawaran ke Yo Kim Tjan itu ia lakukan setelah sebelumnya ditolak oleh perusahaan rekaman Tio Tek Hong dan Odeon. Tapi sebagaimana penolakan sebelumnya, Supratman tak habis akal. Ia meminta bantuan Yo Kim Tjan untuk merekam lagu Indonesia [Raya] ke piringan hitam.
“Tio Tek Hong bilang ‘oh nggak berani saya, nanti ditangkap Belanda’ dan Odeon, perusahaan rekaman juga menolak. Setelahnya Supratman pergi ke Yo Kim Tjan dan memintanya merekam lagu tersebut,” cerita Udaya.
Di rumah Yo Kim Tjan yang terletak di jalan Gunung Sahari No.37 Jakarta, Supratman dibantu oleh seorang teknisi Jerman untuk merekam dua versi dari lagu tersebut. Pertama versi asli di mana Supratman menyanyikannya sambil bermain biola, sementara kedua adalah versi keroncong–agar bisa diperdengarkan ke publik luas.
“Supratman memberikan advice pada Yo Kim Tjan supaya direkam versi keroncong supaya orang Indonesia tahu seperti apa musiknya,” tutur Udaya.
Versi keroncong tersebut pun tersebar di kalangan pribumi. Mendengar kemunculan gerakan politik kala itu, pemerintah Belanda lantas menyita seluruh piringan hitam versi keroncong lagu Indonesia [Raya] tersebut.
Pada 1953, Yo Kim Tjan lantas mengirim surat ke Djawatan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk memperbanyak piringan hitam lagu Indonesia [Raya] versi asli oleh W.R Supratman. Tapi surat permohonan ini ditolak oleh RRI dengan alasan, lagu Indonesia [Raya] telah menjadi lagu nasional dan berubah judul menjadi Indonesia Raya.
Kemudian 1957, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu atas nama Kusbini, meminta Yo Kim Tjan untuk menyerahkan master piringan hitam berisi lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan W.R Supratman. Dalam suratnya kepada Yo Kim Tjan, Kusbini menyebut piringan hitam tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan perihal hak cipta.
BACA JUGA:Jangan Bangun Rumah di 7 Lokasi Ini, Nanti Anda Menyesal
“Jadi tahun 57 itu, master piringan hitamnya diminta untuk menyelesaikan hak cipta, tapi tahun 58 Yo Kim Tjan mendapat surat seolah-olah master piringan hitam itu diserahkan, dan sampai saat detik ini tidak ada satupun yang tahu di mana piringan hitam tersebut,” tutur Udaya.
Selama bertahun-tahun setelahnya, Kartika–putri dari Yo Kim Tjan, menyimpan piringan hitam versi keroncong lagu tersebut. “Itu piringan hitam selalu saya bawa kemana pun, papi saya (Yo Kim Tjan) bilang ini mesti diselamatin, buat nanti Indonesia,” ungkap Kartika dalam rekaman video saat wawancara dengan Udaya Halim 2014 silam.
Kartika mengembuskan napas terakhirnya pada 5 Nopember 2014. Piringan hitam berisi lagu Indonesia Raya versi keroncong kini disimpan di Museum Sumpah Pemuda.
Proses panjang hingga akhirnya melahirkan apa yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda” kini, bukan jalan yang lempang. Para pemuda yang kemudian merumuskan ikrar; bertanah air satu, berbahasa satu, dan berbangsa satu, Indonesia, berasal dari beragam kelompok dan latar. Tak terkecuali, kelompok Tionghoa.
Kongres Pemuda II pun tak begitu saja muncul. Pertemuan ini didahului dengan Kongres Pemuda I yang digelar pada 30 April-2 Mei 1926 atau dua tahun berjarak.
BACA JUGA:Tidak Sholat Apalagi Baca Quran, Namun Rezekinya Banyak, Begini Penjelasan Ustadz Abdul Somad
Sumpah Pemuda disebut jadi tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia. Semangat kebangsaan ini salah satu yang mendasari perjuangan para pemuda untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Ikrar yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 itu, 17 tahun kemudian, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.