Banyak yang Tidak Tahu, Begini Jasa Masyarakat Tionghoa untuk Kemerdekaan Indonesia

Kamis 26-10-2023,01:40 WIB
Reporter : Tim liputan
Editor : Purnama sakti

6. Djoni Matius (Djoni Liem) 

Djoni Matius alias Djoni Liem lahir pada 3 April 1934 di Bandung, Jawa Barat. Ia merupakan purnawairawan TNI Angkatan Laut yang berasal dari Satuan Intai Amfibi Korps Marinir. 

Saat bertugas, ia pernah tergabung dalam Operasi Dwikora, PRRI/Permesta,DI/TII, RMS hingga operasi Seroja di Timur-Timur. Pangkat terakhirnya adalah Sersan Mayor. 

Selain itu, Janti Silman samar mengingat detail yang terjadi di rumah kakeknya sekitar 92 tahun silam. Padahal, rumah keluarga ini merupakan bagian penting sejarah Indonesia, mulai dari menjadi markas organisasi pergerakan pemuda masa-masa itu hingga tempat diputuskannya penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928–yang kemudian dikenal menghasilkan Sumpah Pemuda. 

Tapi maklum saja, usia Janti dan sang kakek, Sie Kong Lian memang terpaut jauh jaraknya. 

Dan sayang, engkongnya keburu meninggal saat Janti berusia tujuh, sebelum sempat bercerita banyak tentang apa yang terjadi di rumah keluarga mereka saat zaman perjuangan kemerdekaan. 

“Rumah itu dibeli oleh engkong saya, kakek saya pada 1908 untuk dijadikan tempat kos mahasiswa dari Stovia. Jenjang usia saya, dengan ayah dan kakek saya cukup besar. Kakek saya meninggal pada 1954 dan ayah saya juga sibuk, jadi tidak banyak bicara. Jadi memori saya mengenai Gedung Sumpah Pemuda tidak terlalu banyak,” cerita Janti dalam suatu acara.

“Kecuali satu, pesan yang mengingatkan kami; kita bukannya tidak butuh rumah tersebut, tapi rumah tersebut punya sejarah besar bagi bangsa Indonesia, dan juga kenangan tersendiri. Jadi wasiatnya, pesan ayah saya yang juga dipesankan oleh kakek saya; bila saatnya kalian diminta menghibahkan rumah tersebut pada negara, maka hibahkan,” kata Janti lagi mengingat. 

Rumah yang diceritakan Janti itu, puluhan tahun silam menjadi tempat indekos para pelajar Stovia–sekolah kedokteran kala itu. Kediaman Sie, selain jadi tempat tinggal dan belajar juga dijadikan ‘markas’ organisasi pergerakan pemuda pada medio 1927. 

Beberapa mahasiswa yang pernah tinggal di antaranya Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Abu Hanifah, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana. 

Sie Kong Lian saat itu maklum betul, memberi ruang bagi anak-anak muda mengembangkan gagasan persatuan bangsa dan kemerdekaan adalah hal bahaya jika diketahui Belanda. Tapi kakek Janti itu tak gentar. 

BACA JUGA:Selain Sering Dibuat Jus, Ternyata Ini 8 Manfaat Jambu Biji Merah, Bisa Bikin Mata Sehat

Bangunan yang jadi saksi bisu perjalanan Indonesia tersebut kini bisa dijumpai di kawasan Jakarta Pusat. Jika jalan-jalan di sekitaran Kwitang menuju daerah Pasar Senen, Anda akan menemukan sebuah bangunan uzur, bergaya arsitektural kolonial. Plangnya mungkin tak begitu terlihat, tapi jika serius bisa terbaca: Museum Sumpah Pemuda. 

Gedung Kramat Raya 106 itu menurut buku “Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda” punya peran penting dalam napak tilas sejarah Indonesia. Secara sepintas gedung itu seperti bangunan lama, jauh dari kesan megah dan menjulang. Luasnya pun tak seberapa. 

Tapi dari dalam bangunan itu lah gagasan para pemuda berkembang. Diskusi mengenai pergerakan Indonesia bergolak. 

“Di gedung ini para pemuda pendiri bangsa menuangkan pemikiran tentang persatuan pemuda, mereka berkumpul dan berdiskusi membahas permasalahan yang dialami rakyat Indonesia saat itu,” petikan pernyataan dari buku tersebut dikutip dari laman resmi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Kategori :