Dampak Larangan Hijab pada Komunitas Basket
Kisah serupa yang dialami oleh Konate telah menjadi lumrah pada semua level bola basket di bawah naungan FFBB.
Akses dan kesempatan untuk berlatih hingga berkompetisi bagi pemain berhijab telah dibatasi, bahkan berdampak pada kesejahteraan sosial mereka.
Di sebuah lapangan basket di salah satu distrik di Paris, Salimata Sylla menginisiasi sebuah "ruang aman" bagi semua perempuan yang punya minat olahraga, terlepas dari mereka mengenakan hijab atau tidak. Ruang aman itu dia beri nama 'Ball.Her'. Sebanyak 60 perempuan telah ikut serta dalam setiap sesi sejak pertama kali diadakan tahun lalu.
"Basket adalah segalanya bagi saya. Basket bukan sekadar kosa kata, basket telah menyelamatkan hidup saya. Saya tinggal di lingkungan yang penuh dengan narkoba. Basket membantu saya menjadi orang yang lebih baik, disiplin dalam hidup dan menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri," kata Sylla.
Sylla pernah bergabung dengan tim liga Prancis Aubervilliers, namun dia sudah tidak bermain bersama mereka selama lebih dari setahun.
Pada Januari 2023, beberapa saat sebelum Sylla akan menjadi kapten Aubervilliers, pelatihnya menyampaikan kabar bahwa wasit hanya akan mengizinkan dia masuk ke lapangan kalau dia melepas hijabnya. Sebagai seorang Muslimah yang telah bermain mengenakan hijab selama tiga tahun, itu bukanlah pilihan bagi Sylla.
"Saya dipermalukan di depan semua orang," katanya. Sylla akhirnya hanya duduk di bangku cadangan dan menyaksikan tim bermain tanpa dirinya, setelah menempuh perjalanan selama tiga jam dari Paris ke wilayah utara Prancis.
Larangan hijab tidak hanya berlaku untuk pemain, tetapi juga untuk pelatih dan wasit. Siapa pun yang mengenakan hijab, tidak bisa masuk ke ruang kompetisi. Ini telah terjadi selama bertahun-tahun di semua level di bawah Federasi Sepak Bola Prancis (FFF).
Padahal satu dekade lalu, FIFA sudah mencabut aturan mereka yang dulunya melarang menggunakan penutup kepala. Federasi Bola Basket Internasional (FIBA) juga mencabut larangan serupa pada tahun 2017.
Ironisnya, ketika Olimpiade Paris mencetak sejarah sebagai yang pertama mencapai kesetaraan gender dalam bidang olahraga, perempuan-perempuan Muslim Prancis justru dihambat untuk berkompetisi di negara mereka sendiri.
Amnesty International menyebut situasi ini sebagai "pelanggaran hak asasi manusia" yang berdampak "sangat buruk".
"Ini adalah bencana bagi olahraga Prancis, bagi olahraga perempuan," kata Helene Ba, salah satu pendiri Basket Pour Toutes (Basket Untuk Semua). Basket Pour Toutes didedikasikan untuk mengatasi diskriminasi dalam dunia basket.
Pada September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mengonfirmasi bahwa hijab dilarang untuk semua tim Prancis di Olimpiade, di bawah prinsip-prinsip sekularisme Prancis, yakni laïcité. Kebijakan tersebut dikritik oleh Kantor HAM PBB dan Komite Olimpiade Internasional (IOC). IOC kemudian menyatakan bahwa hijab diperbolehkan di dalam kampung atlet.