Selain itu, terdapat juga 295 segmen sesar aktif yang telah teridentifikasi, meskipun masih banyak lagi sesar yang belum terpetakan.
Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan aktivitas kegempaan tertinggi di dunia.
Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Teknik Geofisika ITS bersama dengan MTI, IGI Jatim, MGMP Geografi Jatim, dan Tunas Hijau, Daryono menekankan bahwa dalam satu tahun, rata-rata terjadi sekitar 6.000 gempa di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 350 gempa memiliki kekuatan di atas magnitudo 5,0, dan sekitar 10 gempa bersifat merusak. Selain itu, dalam dua tahun sekali, Indonesia berpotensi mengalami gempa yang bisa memicu tsunami.
Perbedaan Antara Gempa Biasa dan Gempa Megathrust
Meski sama-sama disebabkan oleh aktivitas tektonik, gempa biasa dan gempa megathrust memiliki perbedaan mendasar yang perlu dipahami.
Gempa biasa umumnya memiliki magnitudo di bawah 7,0 dan berlangsung hanya beberapa detik hingga satu menit.
Karena durasi yang singkat dan episenter yang lebih dangkal, gempa biasa biasanya tidak menyebabkan kerusakan yang parah seperti gempa megathrust.
Di sisi lain, gempa megathrust adalah jenis gempa yang terjadi di zona subduksi, di mana satu lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng lainnya.
BACA JUGA:Bandingkan Spesifikasi dan Harga Redmi 12 vs Oppo A3x, Kamu Lebih Suka yang Mana?
Zona ini biasanya berada di kedalaman lebih dari 100 kilometer di bawah permukaan bumi. Kekuatan gempa megathrust bisa jauh lebih besar daripada gempa biasa, dengan magnitudo yang bisa mencapai hingga 9,0 atau lebih.
Durasi gempa megathrust juga cenderung lebih panjang, yang meningkatkan potensi kerusakan infrastruktur dan risiko keselamatan manusia.
Gempa megathrust dapat menyebabkan likuefaksi, tanah longsor, dan tsunami, terutama jika pusat gempa berada di bawah laut.
Gerakan vertikal yang signifikan dari lempeng yang bertubrukan dapat mengakibatkan pengangkatan atau penurunan dasar laut, yang pada gilirannya memicu gelombang tsunami yang besar dan mematikan.