Punya 3 Tahi Lalat, Itu Ciri-ciri Keturunan Prabu Siliwangi yang Sakti Mandraguna, Selamat!
prabu siliwangi--
Perang Bubat merupakan peristiwa yang membuat luka batin panjang dalam relung hati orang Sunda. Peristiwa itu memang pernah terjadi. Menafikan Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi.
Tanpa peristiwa wafatnya Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.
Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai khalifah (pengganti) setelah tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka di Palagan Bubat.
Siapakah Prabu Siliwangi? Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan,
BACA JUGA:Abu Nawas Gila, Satu Negeri Jadi Heboh, Ternyata Ada Udang di Balik Batu
“Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455". demikian yang tertulis.
Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta.
Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi. Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M),
“Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."
Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"
BACA JUGA:Kebunnya Diserobot, Abu Nawas hanya Bisa Pasrah
Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."
Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi." Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521).
Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan,
"Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun." Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: