Iklan dempo dalam berita

359 Istri di Bengkulu Utara Gugat Cerai Suami ke Pengadilan, Ini Faktor Utamanya

359 Istri di Bengkulu Utara Gugat Cerai Suami ke Pengadilan, Ini Faktor Utamanya

--

Apakah kesepakatan untuk bercerai ini dibenarkan secara hukum? Dan, apakah Hakim bisa serta merta memutus perkara berdasarkan kesepakatan suami istri untuk bercerai? 

Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas mempersulit perceraian. Artinya, perceraian hanya dimungkinkan jika dilakukan di depan persidangan dan berdasarkan alasan-alasan tertentu. 

Hal ini telah diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 juncto Pasal 16 & Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ini juga terkait dengan perkawinan yang merupakan ikatan yang amat kuat yang sulit untuk dilepaskan (mitsaqan ghalidhan). Selain itu, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 454 K/Pdt/1991 tanggal 29 Januari 1993 menjelaskan bahwa putusan akta perdamaian mengenai perceraian adalah bertentangan dengan PP Nomor 9 Tahun 1975. 

Menurut PP tersebut, perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan melalui proses pemeriksaan biasa, dan tidak boleh disepakati berdasarkan proses perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR.

BACA JUGA:Musim Trek Sawit Tiba, Harga TBS di Pabrik Rata-rata di Atas Rp2.000 Per Kilogram

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa perceraian tidak bisa terjadi dengan adanya kesepakatan semata kedua belah pihak. Harus ada cukup alasan yang dapat dibuktikan kebenarannya di depan sidang agar perceraian dapat dikabulkan. Penyelesaian perceraian dalam hukum Islam bukan sekedar masalah administrasi tetapi sangat erat kaitannya dengan agama (al-din) yang menyangkut masalah halal dan haram hingga masalah keakhiratan.

BACA JUGA:Nama Sepeda Motor Ini Jawa, Sudah Diproduksi Sebelum Indonesia Merdeka

Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Peradilan Agama yang diselenggarakan pada tanggal 19 s/d 20 Desember 2013, sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga menyebutkan bahwa perceraian dapat dikabulkan jika fakta menunjukkan rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dengan indikator antara lain:

1. Sudah ada upaya damai tetapi tidak berhasil;

2. Sudah tidak ada komunikasi yang baik antara suami istri

3. Salah satu pihak atau masing-masing pihak meninggalkan kewajibannya sebagai suami istri;

4. Telah terjadi pisah ranjang/tempat tinggal bersama;

5. Hal-hal lain yang ditemukan dalam persidangan (seperti adanya WIL, PIL, KDRT, main judi, dll)

Belakangan ketentuan dalam SEMA tersebut disempurnakan dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

BACA JUGA:Sempat Terancam Batal, Pemkab Kepahiang Akhirnya Buka Penerimaan 1.120 PPPK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: