2 WNI Ajukan Gugatan Permohonan Tidak Menganut Agama ke Mahkamah Konstitusi, Ini Petitumnya
Raymond Kamil dan Indra Syahputra ajukan gugatan ke MK untuk tidak beragama--
Situasi ini, menurut mereka, menyebabkan ketidakakuratan data adminduk, karena warga terpaksa menyatakan bahwa mereka menganut agama tertentu hanya demi mendapatkan KTP.
Selain itu, pemohon juga merasa kehilangan hak untuk melangsungkan perkawinan secara sah karena tidak memeluk agama.
BACA JUGA:Beroperasi Lebih dari Satu Abad, Ini Keunggulan Utama BRI
Mereka mengkritik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan dianggap sah hanya jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Hal ini dianggap diskriminatif bagi warga negara yang tidak menganut agama tertentu.
"Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena para pemohon tidak memeluk agama dan kepercayaan, maka hilang pula hak melangsungkan perkawinan yang sah yang digantungkan secara bersyarat pada pelaksanaan ritual agama, ritual perkawinan menurut ketentuan agama," tambah pemohon.
BACA JUGA:Innalillahi Bocah Perempuan 9 Tahun Meninggal Akibat HIV
Pemohon juga menyatakan bahwa orang yang tidak menganut agama mengalami kerugian karena harus mengikuti pendidikan agama selama masa sekolah atau kuliah.
Dalam hal ini, pemohon mengajukan keberatan atas Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 ayat (1) dan (2) dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mewajibkan pendidikan agama bagi semua warga negara.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Siapkan Perpres Pemutihan Utang untuk 6 Juta UMKM dan Petani
Gugatan ini juga menyentuh aspek pidana yang diatur dalam Pasal 302 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP.
Pemohon menentang aturan yang mempidanakan orang yang menghasut agar seseorang tidak menganut agama atau kepercayaan yang diakui di Indonesia.
"Bahwa yang dipidanakan adalah orang yang mendorong, mengajak, atau membakar semangat orang untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan dan tidak mempidanakan pendengar yang kemudian tidak memeluk agama dan kepercayaan, membuktikan bahwa tidak memeluk agama dan kepercayaan bukanlah suatu tindak pidana. Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar, seharusnya tindakan mendorong itu tidak diklasifikasi sebagai tindak pidana, dan hal tersebut bersifat diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan," jelas pemohon dalam gugatan tersebut.
BACA JUGA:Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur, Kejagung Sita Uang Miliaran dari Empat Tersangka
Petitum Gugatan
Dalam gugatannya, para pemohon mengajukan sejumlah petitum ke Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah rincian petitum yang dibacakan oleh kuasa hukum pemohon dalam persidangan:
- Mengabulkan seluruh permohonan pengujian materiil undang-undang terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh para pemohon.
- Menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai "secara positif dan negatif" atau menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai "secara positif dan negatif". Artinya, setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak beribadah, serta bebas untuk tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan.
- Menyatakan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata "agama" tidak dimaknai sebagai "beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu atau kepercayaan tidak tertentu."
- Menyatakan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.
- Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Atau menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai hanya mengikat penduduk yang memeluk agama dan kepercayaan tertentu.
- Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai pilihan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.
- Menyatakan Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai pilihan kebebasan untuk mengikuti pendidikan agama atau tidak.
- Menyatakan Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
- Memerintahkan pemuatan putusan pada Berita Negara Republik Indonesia.
- Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, para pemohon memohon putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan asas keadilan.
BACA JUGA:3 Penyebab Perusahaan Legendaris Tekstil Stitex Bangkrut
(Sheila Silvina)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: