“Kecuali satu, pesan yang mengingatkan kami; kita bukannya tidak butuh rumah tersebut, tapi rumah tersebut punya sejarah besar bagi bangsa Indonesia, dan juga kenangan tersendiri. Jadi wasiatnya, pesan ayah saya yang juga dipesankan oleh kakek saya; bila saatnya kalian diminta menghibahkan rumah tersebut pada negara, maka hibahkan,” kata Janti lagi mengingat.
Rumah yang diceritakan Janti itu, puluhan tahun silam menjadi tempat indekos para pelajar Stovia–sekolah kedokteran kala itu. Kediaman Sie, selain jadi tempat tinggal dan belajar juga dijadikan ‘markas’ organisasi pergerakan pemuda pada medio 1927.
Beberapa mahasiswa yang pernah tinggal di antaranya Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Abu Hanifah, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
Sie Kong Lian saat itu maklum betul, memberi ruang bagi anak-anak muda mengembangkan gagasan persatuan bangsa dan kemerdekaan adalah hal bahaya jika diketahui Belanda. Tapi kakek Janti itu tak gentar.
BACA JUGA:3 Shio Diprediksi Berjodoh Dengan Crazy Rich
Bangunan yang jadi saksi bisu perjalanan Indonesia tersebut kini bisa dijumpai di kawasan Jakarta Pusat. Jika jalan-jalan di sekitaran Kwitang menuju daerah Pasar Senen, Anda akan menemukan sebuah bangunan uzur, bergaya arsitektural kolonial. Plangnya mungkin tak begitu terlihat, tapi jika serius bisa terbaca: Museum Sumpah Pemuda.
Gedung Kramat Raya 106 itu menurut buku “Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda” punya peran penting dalam napak tilas sejarah Indonesia. Secara sepintas gedung itu seperti bangunan lama, jauh dari kesan megah dan menjulang. Luasnya pun tak seberapa.
Tapi dari dalam bangunan itu lah gagasan para pemuda berkembang. Diskusi mengenai pergerakan Indonesia bergolak.