BACA JUGA:Kenang Perjuangan Ibu Fatmawati, 17 Istri Gubernur Menjahit Bendera di Bengkulu
Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana.
Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan.
BACA JUGA:Sejarah Fatmawati Menjahit Bendera Merah Putih
Tahun 1701, bangsa lnggris di perbentengannya pertama, Fort York (Pasar Bengkulu) menyadari bahwa letak benteng itu tidak strategis untuk pertahanan serta tidak sehat keadaan sekelilingnya.
Oleh karena kemudian mereka memilih Tapak Paderi (dahulu penduduk Bengkulu menamakannya : Ujung Karang) sebagai lokasi untuk mendirikan gudang bagi Kompeni.
BACA JUGA:Semangat Pertahankan Bela Negara di Tanah Kelahiran Fatmawati
Tahun 1714, dekat pergudangan Ujung Karang itu pula, mereka membangun kompleks perbentengan yang kokoh dan amat termashur, yakni Fort Marlborough.
Tahun 1714, lnggris mulai membangun fondamen perbentengan Fort Marlborough, kemudian dibangun bagian-bagian pentingnya dari perbentengan tersebut (Dalip dkk., 1983/1984).
BACA JUGA:Ini Fakta Dibalik Kerudung Fatmawati
Pada tahun 1719 terjadilah pemberontakan rakyat Bengkulu. Salah seorang pemimpin perlawanan ini adalah Pangeran Mangku Raja dari Kerajaan Sungai Lemau.
Pemberontakan tahun 1719 itu berkaitan dengan perjanjian 1695. Adapun perjanjian dengan Kerajaan Selebar yang ditandatangani pada tanggal 16 Agustus 1695 itu, sesungguhnya adalah suatu pembaharuan perjanjian yang sudah pernah ditandatangani sebelumnya, yang menurut cerita telah hilang.
BACA JUGA:Bung Karno Guru Fatmawati yang Jadi Kekasih
Dalam perjanjian tahun 1695 itu dimuat perjanjian khusus untuk Pangeran Selebar, di mana ditentukan bahwa tunjangan yang diberikan kepada putera raja apabila menggantikannya akan diberikan apabila menunjukkan sikap yang tetap setia kepada lnggris.
Tatkala merica di wilayah Kerajaan Selebar mengalami musim paceklik, lnggeris menganggapnya sebagai pengingkaran perjanjian (Dalip dkk., 1983/1984).