Sementara ulama yang membolehkannya berpedoman pada dua hadits berikut:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ أَخْبَرَ وَالِدَهُ سَعْدَ بْنَ أَبِى وَقَّاصٍ أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنِّى أَعْزِلُ عَنِ امْرَأَتِى. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لِمَ تَفْعَلُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا أَوْ عَلَى أَوْلاَدِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَوْ كَانَ ذَلِكَ ضَارًّا ضَرَّ فَارِسَ وَالرُّومَ. (رواه مسلم
Artinya, “Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bahwa Usamah bin Zaid mengabari ayahnya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash, sungguh ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw dan berkata: “Aku meng-’azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) dari istriku”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Mengapa kamu lakukan itu?” Lelaki itu menjawab: “Aku menyayangi anaknya atau anak-anaknya”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Andaikan hal itu membahayakan, niscaya sudah membahayakan orang Persi dan Romawi.” (HR Muslim).
Menurut Imam Abu Ja’far At-Thahawi dalam hadits ini terdapat kebolehan menggauli para istri yang sedang hamil. (At-Thahawi, Ma’anil Atsar, juz VI, halaman 85-87).
عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ قَالَتْ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ فَنَظَرْتُ فِى الرُّومِ وَفَارِسَ فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلاَدَهُمْ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا
Artinya, “Diriwayatkan dari Judamah binti Wahb saudari ’Ukasyah, ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah saw saat bersama orang banyak, saat beliau bersabda: “Sungguh Aku bermaksud melarang dari perbuatan ghilah (menggauli wanita yang sedang menyusui atau hamil), lalu aku melihatnya pada bangsa Romawi dan Persia. Kemudian mereka melakukannya pada anak-anak mereka dan itu tidak membahayakan mereka sedikit pun.” (HR Muslim)
Merujuk penjelasan Al-Hafidh Al-Munawi, andaikan berhubungan suami istri saat istri hamil membahayakan, niscaya hal itu membahayakan anak-anak bangsa Romawi dan Persia. Karena mereka telah melakukannya padahal banyak dokter di sana. Andaikan hal itu membahayakan niscaya para dokter itu akan mencegahnya. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, juz V, halaman 357).
BACA JUGA:Kesatria Pelopor Pendidikan Perempuan! Ini Kisah Ibu Kartini Melawan Tradisi Poligami
Di antara ulama mazhab Syafi’i yang membolehkannya secara terang-terangan adalah Al-Khatib As-Syirbini. Ia menegaskan:
ولا يحرم وطء الحامل والمرضع
Artinya, “Dan tidak haram menyetubuhi perempuan hamil dan menyusui.” (As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz III, halaman 139).
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa hukum berhubungan suami istri saat istri sedang hamil ada dua pendapat, pertama makruh, dan kedua menurut mayoritas ulama adalah boleh dan tidak makruh sama sekali.
Pun demikian, untuk menjaga kesehatan janin dan ibunya, hendaknya suami yang ingin memilih posisi yang tidak membahayakan kesehatannya. Sangat penting pula hal ini dikonsultasikan kepada dokter yang lebih paham dalam hal ini. Baik dari sisi kesehatan fisik maupun psikisnya.
BACA JUGA:Di BPJS Ketenagakerjaan Kamu Bisa Pinjam Uang Hingga Rp 500 Juta dengan Mudah, Begini Caranya