Ternyata Sudah Hadir Sejak Abad ke 15 di Era Kerajaan Demak, Ini Sejarah Ketupat Beserta Filosofinya
Sejarah Ketupat Beserta Filosofinya--
NASIONAL, RBTVCAMKOHA.COM - Hadir sejak abad ke 15 di era Kerajaan Demak, Ini sejarah ketupat beserta filosofinya.
Ketupat, dengan segala simbolisme dan maknanya yang mendalam, menjadi makanan yang tak terpisahkan dari tradisi Lebaran. Dibuat dari beras yang dikemas dalam anyaman pucuk daun kelapa dan direbus hingga matang, ketupat bukan sekadar hidangan, melainkan lambang permintaan maaf dan berkah.
BACA JUGA:Sajian Identik saat Momen Lebaran, Begini Cara Membuat Ketupat Gurih untuk Lebaran
Menurut Pakri (2015), beras dianggap sebagai lambang nafsu, sementara daun janur melambangkan jatining nur, atau hati nurani dalam bahasa Jawa.
Dalam konteks ini, dalam buku "Kajian Etnomatika pada Budaya Indonesia" oleh Mega Teguh Budiarto dkk, ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan tipu daya, mengajarkan manusia untuk menahan nafsu dunianya dengan mengikuti hati nurani.
Bahkan dalam bahasa Sunda, ketupat dikenal sebagai kupat, mengingatkan manusia untuk tidak menyebarkan gosip buruk tentang orang lain.
Dengan demikian, ketupat atau kupat dapat diartikan sebagai wujud dari ngaku lepat, atau mengakui kesalahan dan meminta maaf saat melakukan kesalahan.
BACA JUGA:9 Makanan Khas Jawa yang Disajikan Dihari Lebaran, Salah Satunya Ketupat
Sejarah Ketupat
Sejarah ketupat merentang kembali ke abad ke-15, masa gemilang Kerajaan Demak di Jawa. Dalam catatan sejarah yang ditinggalkan oleh ahli sejarah Belanda, Hermanus Johannes de Graaf, dalam karyanya yang terkenal berjudul Malay Annual, dinyatakan bahwa ketupat pertama kali muncul di wilayah Jawa pada masa itu.
Bentuknya sudah mirip dengan apa yang kita kenal sekarang, dan cara memasaknya pun menggunakan anyaman daun kelapa.
BACA JUGA:Oh Ternyata Ini Asal Usul Ketupat hingga Menjadi Simbol dan Makanan Khas Lebaran
Menurut catatan de Graaf, kedatangan ketupat di tengah masyarakat Jawa sejalan dengan penyebaran agama Islam yang digalakkan oleh tokoh agama seperti Sunan Kalijaga. Pada masa itu, mayoritas penduduk Jawa masih menganut agama tradisional yang dikenal sebagai Kejawen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: