Iklan dempo dalam berita

Kesatria Pelopor Pendidikan Perempuan! Ini Kisah Ibu Kartini Melawan Tradisi Poligami

Kesatria Pelopor Pendidikan Perempuan! Ini Kisah Ibu Kartini Melawan Tradisi Poligami

Perjuangan R.A Kartini melawan tradisi poligami --

NASIONAL. RBTVCAMKOHA.COM – Kesatria pelopor pendidikan perempuan! ini kisah Ibu Kartini melawan tradisi poligami.

Ibu Kartini, atau Raden Ajeng Kartini, adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita dan pendidikan bagi perempuan. 

Dia lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Kartini menentang tradisi patriarki yang menghambat perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan untuk belajar dan berkembang.

BACA JUGA:Di BPJS Ketenagakerjaan Kamu Bisa Pinjam Uang Hingga Rp 500 Juta dengan Mudah, Begini Caranya

Melalui surat-suratnya yang terkenal, dia menyuarakan aspirasi untuk kebebasan wanita dan mengkritik tradisi poligami dan pernikahan di usia muda. Meskipun meninggal pada usia muda, warisannya terus dihargai dan dirayakan setiap tahun pada Hari Kartini, tanggal 21 April, di Indonesia.

Dalam perjalanan hidupnya, Kartini diperkenalkan sejak dini dengan dinamika rumah tangga poligami, di mana ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, memiliki lebih dari satu istri. 

Ibunya sendiri, M.A. Ngasirah, bukanlah satu-satunya perempuan dalam kehidupan ayah Kartini, karena ayahnya kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan, yang juga berasal dari keluarga bangsawan. 

BACA JUGA:Tempat Bersejarah Kehidupan Ibu Kartini, Sekarang Dijadikan Tempat Wisata

Meskipun tumbuh dalam lingkungan yang terikat oleh praktek poligami, Kartini membawa sikap yang berbeda. Ia menentang keras praktik poligami, percaya bahwa tradisi ini menindas dan merugikan perempuan.

Selain itu, Kartini tidak terikat pada gelar kebangsawanan dan memilih untuk diakui hanya dengan nama saja, tanpa tambahan gelar Raden Ajeng.

Meskipun Kartini menentang poligami, ironisnya, ia sendiri harus menghadapi kenyataan tersebut ketika dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang bernama Adipati Djojoadiningrat. 

Pada saat itu, Kartini berusia 24 tahun, dan dianggap sudah terlalu tua untuk seorang perempuan jika belum menikah. Namun, Kartini menetapkan syarat-syarat tertentu sebelum menerima pernikahan tersebut. 

BACA JUGA:Hari Kartini, Ini 25 Kutipan Inspiratif RA Kartini tentang Emansipasi Wanita yang Menggugah Hati

Ia menolak untuk tunduk pada prosesi adat yang merendahkan martabat perempuan, seperti berjalan jongkok, berlutut, atau bahkan menyembah kaki suaminya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: