Bahkan, ayah dan kakaknya memberikan gelar Trinil, yang sering disebut "Nil", kepada Kartini. Trinil adalah nama burung kicau yang kecil dan lincah.
Pada tahun 1885, Kartini dimasukkan ke Sekolah Dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS). Hal ini cukup kontroversial karena bertentangan dengan tradisi kaum bangsawan yang biasanya melarang putri mereka untuk bersekolah di luar rumah.
BACA JUGA:Di BPJS Ketenagakerjaan Kamu Bisa Pinjam Uang Hingga Rp 500 Juta dengan Mudah, Begini Caranya
Di ELS, Kartini menarik perhatian orang-orang Eropa dengan kemampuan bahasa Belandanya yang lancar.
Di usia yang masih sangat muda, Kartini sudah memahami pemikiran dan perjuangan pejuang wanita dari India, Pundita Rumambai. Hal ini dia ceritakan kepada Nyonya Van Kol.
Kecakapan Kartini memungkinkannya untuk bergaul dengan baik dengan pribumi maupun orang dewasa Belanda. Dia memiliki sahabat bernama Letsy Detmar, yang merupakan anak dari kepala sekolah.
Selain itu, Kartini menjalin hubungan yang baik dengan Nyonya Marie Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara, yang tinggal di sekitar rumahnya.
BACA JUGA:Tempat Bersejarah Kehidupan Ibu Kartini, Sekarang Dijadikan Tempat Wisata
Kartini sering bersama dengan adik perempuannya, Roekmini dan Kardinah, sehingga mereka dikenal sebagai "Het Klaverblad" atau tiga daun semanggi oleh Marie Ovink-Soer.
Pada awal tahun 1892, Kartini yang baru berusia 13 tahun lulus dari ELS, namun ia harus menjalani pingitan sesuai tradisi bangsawan. Meskipun begitu, Kartini berharap untuk melanjutkan pendidikannya di HBS Semarang, namun ayahnya menolak.
Selama empat tahun masa pingitan yang menyedihkan itu, Kartini menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Dia menyukai buku-buku pengetahuan karena membantu mengalihkan perhatiannya dari kesedihan hidupnya.
BACA JUGA:Hari Kartini, Ini 25 Kutipan Inspiratif RA Kartini tentang Emansipasi Wanita yang Menggugah Hati
Buku-buku tersebut tidak hanya dibaca, tetapi Kartini juga membuat catatan-catatan kecil tentang berbagai tema penting yang dia temui.
Ayah dan kakaknya, R.M. Sosrokartono, dengan baik hati memenuhi kebutuhan Kartini akan bahan bacaan.
Ketika kakak perempuannya, R.A. Soelastri, menikah, Kartini mengambil alih peran dalam rumah tangga mereka. Roekmini dan Kardinah kemudian juga menjalani masa pingitan.
Selama masa pingitan itu, Kartini terus memperkuat hubungan dengan Roekmini dan Kardinah, sambil mencoba mengubah beberapa tradisi feodal yang ada.