Sekolah tersebut juga lepas dari pengaruh pemerintah. Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada dalam dirinya. Kebanyakan muridnya adalah anak priyayi di Jepara.
Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah yang baru didirikannya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya terus bertambah.
Hingga akhirnya konsentrasi Kartini terpecah setelah datang utusan dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat yang membawa surat lamaran. Hal itu disambut bahagia oleh Sosroningrat.
Meski demikian, Sosroningrat menyerahkan keputusan pada Kartini. Tentu saja kebimbangan Kartini muncul dalam mengambil keputusan.
BACA JUGA:Butuh Pekerjaan? Berikut Syarat dan Jadwal Pendaftaran Kartu Prakerja 2024 Gelombang 66
Kartini mulai berpikir menghitung keuntungan dan kerugian jika menerima atau menolak lamaran tersebut. Keinginan untuk membahagiakan orang tua dan membahagiakan dirinya menjadi alat untuk menimbang keputusan yang akan diambilnya.
Dengan berat hati, Kartini memutuskan menerima lamaran tersebut. Namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh Raden Adipati Djojo Adiningrat yaitu:
Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Setelah Kartini menerima surat lamaran, dia menerima Surat Keputusan Gubernur Jenderal tentang pendidikannya ke Batavia. Namun surat itu sudah tidak berarti karena Kartini akan menikah dan Roekmini tidak mungkin pergi sendiri.
Kartini menuliskan surat kepada istri Abendanon untuk memberikan beasiswa tersebut pada seorang anak bernama Salim dari Riau yang ingin bersekolah di HBS Batavia.
Setelah mengikat janji pernikahan pada 8 November 1903, Kartini langsung memusatkan perhatiannya pada pendirian organisasi para bangsawan bumiputera di Jawa dan Madura. Namun, kebahagiaannya sebagai seorang istri baru dan calon ibu tidak berlangsung lama.
Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadiningrat. Namun, kebahagiaan tersebut hanya bertahan selama empat hari. Pada usia yang masih sangat muda, Kartini meninggal dunia, meninggalkan suami, ayah, kakak, adik, dan juga para sahabatnya yang selalu mendukung perjuangannya.
Wafatnya Kartini mengejutkan banyak pihak, dan duka yang mendalam dirasakan oleh masyarakat luas, baik di Rembang maupun di seluruh Jawa. Jenazahnya disemayamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, sementara penghargaan dan penghormatan terus disampaikan kepadanya.
Dengan keteguhan hati dan semangatnya yang menginspirasi, Kartini telah memberikan kontribusi yang tak terlupakan bagi perubahan sosial di negeri ini. Meskipun telah tiada, warisannya tetap hidup dalam semangat perjuangan untuk kesetaraan gender dan pendidikan yang adil.