NASIONAL, RBTVCAMKOHA.COM - Kumpul kebo atau kohabitasi adalah hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan.
Istilah kumpul kebo umumnya digunakan saat dua orang belum menikah hidup bersama dan terlibat dalam hubungan romantis atau intim.
Mereka biasanya melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dalam jangka panjang atau permanen.
BACA JUGA:Perbedaan Perkutut Majapahit dan Cemani, Burung Pembawa Keberuntungan dalam Budaya Jawa
Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit. Fenomena "kumpul kebo" alias pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah makin marak di Indonesia. Hal ini terjadi saat norma hukum dan agama tidak menyetujui adanya hal ini.
Dilansir dari laman cnbcindonesia.com, di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa "kumpul kebo" lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur.
BACA JUGA:Perbedaan Perkutut Majapahit dan Cemani, Burung Pembawa Keberuntungan dalam Budaya Jawa
Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk "kumpul kebo" bersama pasangan, yakni beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.
"Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi," ungkap Yulinda, dikutip Sabtu (26/10/2024).
"Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal," lanjutnya.
BACA JUGA: Link dan Cara Daftar Lowongan Pekerjaan di PT Pertamina Training And Consulting
Selanjutnya, Yulinda juga menyebut jika pihak yang paling berdampak secara negatif akibat "kumpul kebo" adalah perempuan dan anak.
Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.
"Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya," terang Yulinda.
BACA JUGA:Sejoli Lansia Kepergok Warga Lagi Mesum di Tempat Umum, Keduanya Dibawa ke Panti Sosial
Sementara itu dari segi kesehatan, "kumpul kebo" dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.
Menurut data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.